Tradisi empiris artinya kebiasaan untuk mengamati, memahami, dan menyimpulkan tentang realitas. Sains merupakan hasil dari tradisi empiris. Tradisi empiris yang sangat kuat, akan menghasilkan berbagai kesimpulan ilmiah yang sangat kaya. Tradisi empiris dalam Al-Qur’an bukan hanya mendorong pada kesimpulan ilmiah, tetapi menghantarkan seorang muslim menggunakan logika emporis – logika yang dibangunan berdasarkan fakta – untuk memperkat dan meningkatan keimanan seorang muslim.
Islam mendorong umat Islam untuk memahami realitas dengan melakukan pengamatan, memikirkan, atau bahkan melakukan eksperimen dengan menggunakan realitas sebagai obyek kajian. Berfikir dalam pandangan Islam tidak lain adalah upaya untuk memahami realitas secara lebih sistematis untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan berupa pengetahuan tentang realitas yang lebih terorganisir (organized knowledge). Jika seseorang mengaku berfikir, tetapi tidak menyandarkan pada sebuah realitas yang empiris, maka apa yang ia lakukan tidak termasuk kategori berfikir, tetapi hanya sekedar menghayal – atau setidaknya – hanya berfkir semu; yang tidak akan mengantarkannya pada kesimpulan-kesimpulan berupa pengetahuan yang terorganisir, terukur, dapat diulangi, serta dapat dibuktikan kembali kebenarannya.
Jika seseorang mengaku betrfikir, tetapi bukan tentang obyek yang empiris, maka ia tidak termasuk kategori berfikir, melainkan menghayal. Apa yang disebut Islamisasi sains seringkali terjebak pada upaya-upaya melakukan kajian terhadap sesuatu yang tidak empiris, yang tidak bisa dijangkau indra manusia, seperti kajian tentang struktur fisika dan kimia jin, rembetan panas api neraka dalam satuan waktu tertentu, dan derajat kemunafikan. Kajian tentang obyek-obyek yang tidak empiris tersebut tidak akan mengantarkan pada perumusan-perumusan teori sains, yang akan melahirkan teknologi, melainkan hanya akan menimbulkan perdebatan panjang yang tidak akan berujung. Pervez Hoodbhoy (1996) melakukan kitik tajam terhadap Islamisasi sains di Pakistan, karena Islamisasi di Pakistan pada zaman Presiden Ziaul Haq lebih banyak membahas hal-hal yang tidak empiris. Sedangkan Al-Qur’an sendiri memerintahkan kepada manusia untuk memahami berbagai persoalan yang bersifat empiris dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan pada manusia yang menyerukan untuk memahami fakta sebagai sebuah realitas empiris. Di antaranya adalah:
Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan (QS ath-Thâriq [86]:5-7).
Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Da gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan (QS al-Ghâsyiyah [88]:17-20 ).
Suatu tanda kekuasaan Allah bagi mereka adalah malam. Kami menanggalkan siang dari malam itu, lalu dengan serta-merta mereka ada dalam kegelapan. (QS Yâsîn [36]: 37).
Realitas Empiris dan Proses Keimanan
Demikian ayat-ayat tersebut memerintahkan kepada manusia untuk mengamati sebuah realitas secara cermat dan mendalam. Masih terdapat ratusan ayat lainnya yang mengandung makna perintah yang sama. Dengan mengamati fakta-fakta yang terindra dan dengan menggunakan akalnya yang sehat dan cerdas, manusia akan memahami bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan memiliki keterbatasan. Ia saling tergantung satu sama lain. Manusia sangat tergantung pada ketersediaan bahan pangan yang tumbuh dari alam; dan alam pun tidak berdiri sendiri melainkan saling membutuhkan dan saling melengkapi satu bagian dengan bagian lainya. Dalam sebuah siklus biologis, misalnya, tergambarkan bahwa manusia membutuhkan binatang untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Binatang membutuhkan rumput-rumput yang tumbuh di alam. Rumput-rumput membutuhkan air dan tanah yang subur. Kotoran hewan dalam rentang waktu tertentu akan membantu menyuburkan tanah. Demikian siklus kehidupan yang saling tergantung dan membutuhkan satu sama lain.
Sesuatu yang tergantung dan saling membutuhkan berarti sesuatu itu bersifat lemah; dan pasti keberadaannya ada permulaannya, bukan sesuatu yang kekal dan abadi (azali). Sesuatu yang keberadaannya ada permulaannya pasti ada yang menciptakannya, tidak mungkin jadi dengan sendirinya. Pencipta tentu saja akan berbeda dengan yang diciptakan. Jika yang diciptakan itu materi dengan sifat-sifatnya yang terindra, seperti memiliki warna, bau, gerak, ukuran, satuan, dan perubahan; maka pencipta tidak memiliki sifat-sifat materi. Karena tidak memiliki sifat-sifat materi, sedangkan mata manusia merupakan bagian dari materi yang hanya mampu menjangkau materi, maka manusia dengan sendirinya tidak akan mampu melihat Dzat Pencipta ini di permukaan bumi sekarang ini. Dalam kehidupan akhirat nanti yang tidak berdimensi materi, maka tentu saja manusia akan menyaksikan sosok dan gerak Dzat pencipta. Manusia akan berbicara dan berdialog dengan Dzat Pencipta, di mana manusia akan diminta pertanggungjawaban atas segala tindakannya.
Dzat Pencipta tidak memancar dari Dzat yang lain, karena hal ini menggambarkan sifat-sifat kelemahan dengan kekuatan, yang mustahil bisa bergabung. Kelemahan karena ia membutuhkan yang lain. Kekuatan karena ia diaanggap sebagai pencipta. Kekuatan dan kelemahan tidak mungkin bersatu dalam satu sosok dan dalam waktu yang sama. Karena itu, dalam konteks ini perlu adanya pemisahan yang tegas: apakah ia sebagai pencipta yang bersifat non-materi atau yang diciptakan, yang memiliki sifat-sifat materi. Antara pencipta dan materi yang diciptakan tidak mungkin bergabung dalam sosok yang satu. Mustahil ia sebagai pencipta sekaligus yang diciptakan; mustahil ia kuat sekaligus lemah; mustahil sebagai pencipta, padahal ia butuh pada materi yang diciptakan.
Dengan mengamati realitas empiris, akan tertolak juga pandangan yang mengatakan bahwa apa yang ada di alam semesta ini merupakan kelanjutan dari yang ada sebelumnya, atau perubahan dari satu bentuk menuju bentuk yang lain, seperti pandangan teori evolusi yang sudah sangat terkenal. Misalnya: perubahan dari buah yang masih muda, tua, mateng dan ranum; perubahan seorang manusia dari seorang bayi, anak-anak, remaja, dewasa, kemudian tua dan mati.
Jika kejadian itu hanya merupakan perubahan dari satu bentuk menuju bentuk yang lain, berarti materi-materi itu memiliki kekuatan dan kemampuan sesuai kehendaknya. Kenyataannya, secara empiris berdasarkan fakta-fakta yang terindra, manusia, dan benda-benda tersebut harus tunduk terhadap sesuatu yang bersifat non-materi. Misalnya: katak ketika mengalami proses perubahan dari berudu menuju katak dewasa, ternyata setelah dewasa ia tidak bisa kembali menjadi berudu. Manusia ketika berubah dari bayi menjadi tua dan mati, ternyata ia tidak bisa kembali menjadi remaja, padahal masa remaja dan pemuda merupakan “golden age” bagi kehidupan seseorang, di mana ia ingin mempertahankan masa itu sepanjang mungkin.
Sejalan dengan itu, berdasarkan pemahaman tentang fakta yang bersifat empiris, juga tampak bahwa kejadian benda-benda di alam semesta bukan karena pertemuan satu materi dengan materi lain, yang kemudian melahirkan materi baru. Boleh saja seseorang mengatakan bahwa terjadinya seorang janin pada rahim seorang wanita karena pertemuan sperma dengan ovum, tetapi pertemuan itu memerlukan jumlah dan struktur tertentu. Jumlah dan struktur itu bukan bagian dari materi. Karena itu, terbentuknya seorang janin dalam rahim seorang wanita, bukan semata-mata pertemuan antara sperma dengan opum, tetapi memerlukan struktur tertentu (wadh’un makhsusun) berupa volume, kecepatan, dan kondisi tentu – sifat-sifat yang harus ada, tetapi tidak termasuk materi. Berarti terbentuknya seorang janin memerlukan sesuatu yang bukan materi. Ini menunjukkan adanya penciptaan oleh Zat yang tidak memiliki sifat-sifat materi.
Lalu, siapa sesungguhnya Dzat Pencipta itu yang tidak memiliki sifat-sifat materi itu? Secara faktual dan logik, pencipta (creature) yang mengatur, mengendalikan dan menguasai alam semesta dan kehidupan harus memiliki sifat-sifat non-materi. Jika dikatakan bahwa pencipta itu satu, maka “satu-“nya Dzat Pencipta berbeda dengan “satu-“nya materi yang memiliki satuan volume, berat, dan panjang, dan gerak serta mengalami perubahan. Karena itu, Tuhan sebagai Dzat Pencipta tidak memiliki satuan volume, berat, dan panjang; juga tidak memiliki sifat-sifat materi lainnya, seperti gerak dan perubahan. Pencipta juga tidak mungkin lemah dan tergantung pada materi. Dalam Islam nama Dzat Pencipta itu sudah disebutkan dalam Kitab Suci, yakni bernama Allah SWT.
Karena itu, Islam mengenal adanya dalil naqly, yakni bukti-bukti keberadaan Allah SWT yang tertulis diambil dari Kitab Suci dan dalil aqly, yakni hasil pengamatan dan pemahaman terhadap fakta-fakta yang terindra secara logis dengan menggunakan akal sehat dan kecerdasan sebagai potensi yang dimiliki setiap manusia. Penggunaan dalil naqly sangat tergantung pada keimanan atau sebagai konsekuensi logis dari keimanan; sedangkan penggunaan dalil aqly (empiris-logik) sebagai proses untuk beriman.
Demikianlah tradisi empiris — atau sebut saja kebiasaan memahami fakta secara logik — yang sangat kuat dalam Islam, yang mendorong perolehan ilmu pengetahuan sekaligus menghantarkan pada keimanan seorang muslim.
Reference
Ibrahim bin Muhammad Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharrat Tauhid (Tanpa kota dan Penerbit
Muhammad Husein Abdillah, Ad-Dirosah fi Fikril Islamy (Beirut: Darul Ummah, 1990)
Taqyuddin Ibnu Muhammad, Asy-Sykhasiyyah Al-Islamiyyah, Al-Juz’ul awwal (Beirut: Darul Ummah, 1994)
Pervez Hudbhoy, Islam and Science, Religious Ortodoxy and the Beatle of Rationalit, edisi Bahasa Indonesia, terjemahan Sari Meutia (Jakarta: Mizan, 1996)
alhamdulilah sangat membantu