Tanah Khaibar itu Dibagikan Kepada Kaum Muslimin

tanah-khaibar

Kemenangan kaum muslimin atas Yahudi di Perang Khaibar (Tahun ke-7 H/629 M) mengakhiri keberadaan komunitas Yahudi di Madinah. Bagi Yahudi – setelah berusaha keras mempertahankan benteng-benteng pertahanannya di Khaibar – tidak ada pilihan lain kecuali keluar dari Khaibar ke arah Syam, meninggalkan lahan pertanian mereka  yang sangat subur.  Inilah kesedihan bagi Yahudi sebagai konsekuensi dari kecongkakannya bersekutu dengan Quraisy untuk menghancurkan kaum muslimin dalam Perang Ahzab atau Perang Khondaq (tahu ke-5H/627 M).

Dengan keluarnya Yahudi dari Khaibar, maka Rasulullah SAW memperoleh tanah fa’i sebagai ghanimah (rampasan perang) di sepurat wilayah Khaibar, yakni di As-Syiqq, Nathah, Al-Katibah, and Fadak. Tanah subur peninggalan Yahudi ini secara otomatis menjadi tanah  milik negara, di mana pengelolaannya tergantung pada kebijakan kepala negara, dan Muhammad SAW saat itu adalah kepala negara. Muhammad SAW mengelompokkan tanah diempat kawasan Khaibar itu menjadi tujuh belas blok.  Lalu, untuk setiap blok, Rasulullah SAW membaginya menjadi seratus kavling. Berarti tanah peninggalan Yahudi itu dibagi menjadi 1700 kavling.

Lalu, Rasulullah SAW membagi-bagikan tanah Khaibar itu kepada tentara dan kaum muslimin pada umumnya; sedangkan Nabi hanya memperoleh 20% dari Tanah Khaibar itu sebagai tanah milik negara. Di antara para shahabat yang memperoleh bagian dari Tanah Khaibar itu adalah Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair bin al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Umar bin al-Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Ashim bin Adhi from Bany Al-Aljan, Usaid bin Al-Hushair, Al-Harits bin al-Khazraj, Na’im, Bani Bayadhah, Bani Ubaidah, Bani Hara dari Bani Salimah, Ubaid bin As-Shiham, Saidah, Gifar dan Aslam, An-Najjar, Haritsah dan Aus (Ibnu Hisyam, 2002).

Dengan membagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin, maka setiap individu dalam Islam memiliki hak atas tanah, yakni dapat memiliki tanah melalui pemberian dari negara, membeli, atau diberikan oleh pihak lain kepadanya. Hal ini membatalkan tradisi pra-Islam, di mana yang memiliki hak atas tanah hanya para kepala suku yang memiliki kekuatan di atas rata-rata. Para individu anggota suku tertentu harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh kepala suku.

 

Menjaga Produktivitas Lahan

Memang, dalam sudut pandang Islam, individu memiliki hak atas tanah. Namun, individu pemilik lahan pertanian berkewajiban untuk menjaga produktivitas lahan tersebut. Beliau menegaskan, “Barangsiapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya dia menanaminya. Jika enggan menanaminya, maka berikanlah kepada saudaranya. Dan jika dia enggan memberikan kepada saudaranya, maka tinggalkanlah tanah itu.” (HR ad-Darimi, dikutip dari ‘Ajjaj al-Karmi, 2012:254).

Sejalan dengan itu, setiap individu memiliki kewajiban untuk mencukupi kebutuhan pokok, seperti sandang dan pangan. Untuk itu, pemerintah pun memberikan dukunagn sepenuhnya kepada individu agar memiliki tanah, dan mampu mengelola tanah itu. Jika tidak mampu menjaga produktivitas lahan, maka Pemerintah akan bertindak untuk mengambil alih kepemilikan lahan tersebut.***

 

Rujukan

Ajjaj al-Karmi, H.A., 2012. Al-Idaroh fi ishril Rasulillah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Edisi Bahasa Indonesia, terjemahan Utsman Zahid as-Sidany, Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah.

Al-Muafiri, Abu Muhammad Abu Al-Malik bin Hisyam, 2003. Siroh Nabawiyyah Ibnu Hisyam, Edisi Bahasa Indonesia, terjemahan Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah

 

Recommended For You