Sikap dan Perilaku Petani: Perubahan Subsistensi

Perilaku Petani

Ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan penduduk merupakan kondisi yang diharapkan. Semakin bertambahnya penduduk, ketersediaan pangan pun diharapkan akan semakin meningkat. Yang diharapkan, tentu saja, bukan hanya sekedar ketersediaan, melainkan pangan yang berkualitas yang memenuhi standar gizi dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tidak hanya itu, namun yang diharapkan juga adalah ketersediaan pangan yang terjangkau oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat menikmati pangan sehat dengan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan, menurut The Economist dalam serial penerbitannya setiap tahun, memilki tiga indikator utama, yakni: (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) keterjangkauan (food affordability), dan kesehatan & kualitas (safety & quality).

Ketersediaan pangan – sesuai amanat UU Pangan/UU No. 18/2012 – memerlukan topangan lahan yang memadai; adanya luas lahan pertanian per kapita yang sebanding dengan jumlah penduduk; adanya infrastruktur irigasi yang sempurna; adanya petani yang dengan tekun dan telaten bekerja di sawah dengan sepenuh hati; serta adanya topangan kebijakan Pemerintah yang betul-betul dirasakan oleh petani. Adanya rasa puas di kalangan petani atas pekerjaan mereka dalam menggarap lahan pertanian merupakan kondisi yang diharapkan. Barangkali hal itu merupakan prasyarat bagi sustainabilitas kegiatan pertanian. Para petani diharapkan tidak berpikir untuk bekerja di berbagai sektor non-pertanian. Sebaliknya, mereka diharapkan untuk melakukan berbagai inovasi agar usaha tani mereka semakin menguntungkan. Mereka pun diharapkan akan menjaga sustainabilitas sektor pertanian ini. Jika mereka sebagai petani pemilik lahan, maka diharapkan lahan pertanian mereka akan sustain (akan berlangsung/terjaga) pada generasi berikutnya.

Namun perlu diketahui bersama, pertanian di Indonesia berbeda dengan pertanian di berbagai negara lain. Penyediaan pangan (khususnya padi) di Indonesia sudah terbiasa dilakukan oleh keluarga-keluarga tani; tidak terbiasa disediakan oleh negara; juga tidak terbiasa dilakukan oleh pengusaha-pengusaha yang bergerak di bidang penyediaan pangan. Indonesia mengenal sistem pertanian keluarga dalam arti bahwa keluarga-keluarga petani itulah yang bertugas menyediakan pangan (padi/beras). Indonesia mengenal sistem pertanian rakyat, dalam arti bahwa rakyat sudah terbiasa bertani menghasilkan pangan. Indonesia tidak mengenal sistem pertanian negara/sistem pertanian sosialistik. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam sejarah sosial ekonomi di Indonesia tidak dikenal adanya kebun-kebun  atau sawah milik negara yang secara khusus diperuntukkan bagi produksi pangan (beras/padi). Para keluarga tani seakan-akan sudah ditakdirkan sebagai penyedia pangan bagi kelompok masyarakat lain, termasuk bagi pengusaha, bagi kalangan birokrat, dan para intelektual. Hal ini sudah berlangsung sejak masa pra-kemerdekaan sampai beberapa dekade pasca-kemerdekaan, dan hal ini seakan-akan tidak menjadi masalah.

Memang di Indonesia pernah dikenal adanya dualisme ekonomi antara petani kecil dengan perusahaan perkebunan yang padat modal. Istilah dualisme ini menjadi sangat populer ketika Boeke menuliskannya dalam karya klasiknya yang sangat terkenal, Economics and Economic Policy of Dual Societies. Adanya dualisme ini tidak lain ialah karena kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, di mana setelah masa tanam paksa Pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada para pemodal besar kapitalistik untuk mengelola lahan-lahan perkebunan. Namun di sisi lain, terdapat sawah-sawah rakyat yang dikelola secara sederhana dengan teknologi tradisional, manajemen sederhana tanpa perencanaan. Karena itu, Boeke menggambarkan keadaan ekonomi tersebut secara dualistik; dan sampai sekarang ini keadaan demikian belum sepenuhnya hilang.

 

Subsistensi yang Sedang Berubah

Keluarga tani seakan-akan rela menjadi penyedia pangan bagi pihak lain, karena memang mereka sudah lama melakukan kegiatan bertani yang bersifat subsistence. Ini merupakan hal penting yang perlu kita perhatikan. Subsistensi kita artikan secara sederhana sebagai sebuah kegiatan yang tidak berorientasi pasar dan tidak berorientasi keuntungan, walaupun derajat subsistensinya  akan berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lain, yang dapat diukur dengan tingkat, komersialisasi, kedekatan dengan pasar, atau jumlah produk yang dijual dan disisihkan pada setiap musim panen. Subsistensi yang sesungguhnya ialah ketika mereka bertani semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi keluarganya. Watak subsistensi ini, mengacu pada Scott (Edisi Revisi, 2019), merupakan karakter dasar pertanian di Asia Tenggara, walaupun di sana-sini terdapat perbedaan, tetapi secara umum mereka adalah para petani subsistens.  Sejalan dengan subsistensi, rasionalitas yang menjadi pegangan para petani adalah rasionalitas sosial, bukan rasionalitas ekonomi. Rasionalitas sosial lebih mengedepankan kebersamaan, saling menguntungkan, dan solidaritas di kalangan para petani. Sedangkan rasionalitas ekonomi lebih mengedepankan keuntungan, kembalinya modal, dan efisiensi ekonomi sesuai perencanaan usaha.

Perencanaan pembangunan pertanian di Indonesia berangkat dari fakta dan realitas subsistensi petani serta rasionalitas sosial mereka. Asumsi-asumsi dalam perencanaan tersebut ialah bahwa: (a) sawah akan selalu ada, tidak mungkin para petani akan menghabiskan sawah mereka; dan bahwa kepemilikan sawah terkait dengan status sosial. Di pedesaan seseorang akan sangat terhormat jika memiliki sawah yang luas, dan sepanjang musim tidak pernah kehabisan bahan pangan untuk keluarga mereka; (b) petani akan selalu ada, dari generasi ke generasi, dengan asumsi bahwa pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian mereka. Kitapun sangat bangga dengan status sebagai negara agraris. Pertanian tidak akan pernah terpisahkan dari keberadaan bangsa Indonesia. Masyarakat pedesaan akan senantiasa memelihara keberadaan petani secara turun-temurun; dan tidak terbayangkan bahwa petani itu akan menjadi barang langka, dan sawah pun akan semakin menghilang, dan akan menjadi barang langka, khususnya bagi generasi milenial.

Namun apa yang terjadi ialah bahwa petani subsistensi kita sedang mengalami perubahan yang sangat cepat. Petani sebagai penduduk pedesaan tidak lagi berorientasi subsistensi melainkan berorientasi pada keuntungan dan ekonomi uang. Hal ini sejalan dengan masuknya industrialisasi ke pedesaan sebagai akibat dari gerak pembangunan yang sangat cepat. Dinamika ekonomi hasil pertanian di pedesaan tidak sejalan dengan dinamika ekonomi uang yang sangat cepat. Sudah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa hasrat untuk menjadi petani sangat lemah di kalangan generasi muda, dan dalam rentang waktu 30 tahunan ke depan, kita akan kehilangan petani sebagai penyedia pangan (padi/beras).

Hal demikian terjadi karena beberapa faktor: (a) kegiatan bertani ternyata tidak memberikan keuntungan yang sebanding dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya; (b) secara faktual para petani yang berani melakukan alih pekerjaan mendapat keuntungan yang lebih besar; (c) status ekonomi petani di pedesaan adalah identik dengan kemiskinan dan status sosial yang rendah; (d) kegiatan bertani tidak mendatangkan keuntungan yang cepat dibanding pekerjaan lain, padahal dalam dinamika ekonomi pedesaan yang semakin maju dan kapitalistik, kehidupan pedesaan memerlukan akumulasi dan kecepatan dana. Sektor pertanian yang selama ini mereka geluti, tidak mampu menjawab tantangan ini dengan cepat; (e) di samping kegiatan bertani memang belum sepenuhnya berhasil mengendalikan risiko yang seringkali tidak dapat diperkirakan, seperti gagal panen akibat serangan hama dan penyakit, kebanjiran atau kekeringan.

Karena itu, kajian mengenai sikap dan perilaku petani serta tindak lanjutnya menjadi hal yang sangat penting sebagai upaya untuk menjaga sustainabilitas lahan pertanian, serta mengendalikan laju konversi lahan produktif dalam upaya meraih dan menjaga swasembada atau kemandirian pangan. Memang benar bahwa sustainabilitas pertanian – khususnya pertanian pangan di Indonesia – bukan hanya ditentukan oleh faktor sikap dan perilaku petani, melainkan berkaitan dengan erat dengan kebijakan Pemerintah/Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam bentuk perundangan yang berlaku. Dinamika pembangunan dan pengembangan infrastruktur berpengaruh sangat signifikan terhadap sustainabilitas lahan pertanian. Dinamika para pengusaha yang sangat berkepentingan untuk melakukan konversi lahan tidak bisa diabaikan begitu saja, justru hal ini akan sangat berpengaruh bagi keadaan sustainabilitas pembangunan pertanian di masa yang akan datang.

Hanya saja dalam konteks ini, kajian dan analisis lebih ditekankan pada sikap dan perilaku petani serta tindak lanjut dari sikap dan perilaku tersebut. Kita juga sama-sama mengetahui bahwa sikap dan perilaku petani tersebut merupakan hasil dari dinamika sosial ekonomi yang merupakan antiseden bagi sikap dan perilaku tersebut. Dinamika pembangunan pedesaan, industrialisasi, assesibilitas, dan masuknya ekonomi uang ke pedesaan tidak bisa dipungkiri merupakan faktor bagi perubahan sikap dan perilaku petani. Hanya saja, dalam konteks ini, kita tidak membahas faktor-faktor antiseden tersebut, melainkan fokus pada sikap dan perilaku petani serta tindaklanjutnya.**

Recommended For You

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *