Dalam rangka memuliakan Rasulullah SAW, kita melanjutkan menelusuri siroh Nabawiyyah mengenai lahan-lahan milik negara, baik pengertian maupun proses perolehan lahan tersebut dalam sejarah Islam
Lahan yang dianggap milik negara dalam pandangan Islam selanjutnya ialah apa yang disebut as-shawafi. Salah seorang ulama yang membahas as-shawafi ialah Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yakni Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Pihak yang pertama kali memperkenalkan istilah as-shawafi adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Dan, yang dimaksud dengan as-shawafi ialah tanah-tanah negeri yang dibebaskan oleh kaum muslimin, kemudian tanah tersebut dikelola oleh baitul mal (Pusat Pengelolaan Harta) milik kaum muslimin.
Tanah as-shawafi yang sangat terkenal dalam sejarah Islam ialah tanah hitam (as-sawad) yakni tanah subur yang ada di seputar Sungai Eufrat di Irak. Disebut “tanah hitam” karena tingkat kesuburannya yang tinggi, sehingga tanah tersebut sangat tepat untuk dijadikan kawasan pertanian/sentra pangan bagi kaum muslimin. Tanah hitam tersebut berasal dari dari: (1) tanah milik musuh yang terbunuh di medan pertempuran; (2) tanah orang yang lari dari peperangan, (3) tanah milik raja Kisra/raja Persia yang dikalahkan kaum muslimin, (4) tanah milik anggota keluarga Kisra, (5) tanah resapan air, serta (6) tanah bekas tempat tinggal para biarawan. Pengelompokan tanah as-shawafi tersebut oleh Umar bin Khaththab mengacu pada riwayat Abu Yusuf yang mengabarkan bahwa Abdullah bin Walid menceritakan kepadanya tentang Abdu Abdillah bin Hurrah, di mana beliau mengatakan bahwa Umar bin Khaththab telah mengelompokkan tanah as-shawafi pada tanah as-sawad menjadi sepuluh kelompok berdasarkan asal usul kepemilikan dan keadaan tanah tersebut. Enam di antaranya ialah apa yang sudah disebutkan di atas. Selebihnya tidak diungkapkan secara jelas, namun tanah yang biasanya diperuntukkan sebagai fasilitas bagi kehidupan Kisra sebagai pemimpin tertinggi Kerajaan Persia.
Adalah sebuah fakta sejarah bahwa ketika kaum muslimin melakukan futuhat (membebaskan) sebuah negara, maka tanah-tanah yang ada pada negeri yang ditaklukkan menjadi tanah milik negara kaum muslimin yang dikelola oleh baitul mal. Jelasnya, tanah-tanah tersebut mencakup tanah-tanah yang dulunya merupakan tanah milik negara yang ditaklukkan, milik penguasa atau pemimpin negara itu, atau tanah-tanah orang yang terbunuh di medan pertempuran, atau orang-orang yang lari dari peperangan dan meninggalkan tanahnya. Kepala negara kaum muslimin kemudian mengelola tanah-tanah tersebut untuk kepentingan warga negara.
Tanah Yahudi Bani Nadhir
Mengacu pada Siroh Nabawiyyah Ibnu Hisyam (Al-Muafiri, 2003), tanah yang pertama dibebaskan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah SAW adalah tanah yang berasal dari Yahudi Bani Nadhir. Sebagaimana sudah sering dibahas bahwa orang-orang Yahudi Madinah ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah dan mendirikan negara di Madinah, mereka bergabung bersama kaum muslimin dan berdampingan secara damai, sebagaimana tertera dalam piagam Madinah (Al-Muafiri, 2003). Di antara komunitas Yahudi yang cukup besar dan ternama di Madinah ialah Yahudi Bani Nadhir.
Setelah Perang Uhud (Tahun ke-3H) dan kaum muslimin menderita kekalahan dalam perang tersebut, Yahudi Bani Nadhir menyangka bahwa Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin sudah sangat lemah dan tidak akan bangkit kembali. Karena itu, mereka dengan congkak memusuhi kaum muslimin, membatalkan perjanjian Piagam Madinah, dan memberontak kepada kaum muslimin. Bahkan dikabarkan, Yahudi Bani Nadhir berusaha membunuh Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke perkampungan Bani Nadhir didampingi oleh Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Ali bin Ali Thalib, dan ketika Nabi Muhammad SAW duduk di samping tembok di rumah mereka, seorang Yahudi bernama Amr bin Jahhasy – yang mendapat tugas dari komunitas Yahudi Bani Nadhir – berusaha melemparkan batu dari atas rumah mereka kepada Rasulullah SAW. Namun Rasulullah SAW yang mengetahui adanya makar yang dilakukan komunitas Yahudi, beliau segera pergi meninggalkan perkampungan tersebut kembali ke Madinah, dan beliau selamat dengan pertolongan Allah SWT (Al-Muafiri, 2003).
Atas makar yang mereka lakukan, Rasulullah SAW bersama pasukan kaum muslimin mengepung mereka selama 15 hari. Mereka dihinggapi rasa takut, dan akhirnya menyerah dan memohon perlindungan Rasulullah SAW. Mereka tidak dibunuh tapi diminta untuk keluar dari Madinah dengan membawa harta kekayaan mereka yang bisa diangkut dengan unta kecuali persenjataan dan tali kekang unta yang tidak boleh mereka bawa. Sebagian dari mereka lari ke Adzri’at (Syam) dan sebagian mereka melarikan diri ke Khaibar. Di antara pemimpin mereka yang pergi ke Khaibar ialah Sallam bin bin Abu Al-Huqaiq, Kinanah bin Ar-Rabi bin Abu Al-Huqaiq, dan Huyay bin Akhthab (Al-Muafiri, 2003).
Rasulullah mendapat harta rampasan perang – yang merupakan harta bergerak — dari Yahudi Bani Nadhir, juga memperoleh tanah fai (tanah rampasan perang) yang mereka tinggalkan. Disebutkan dalam siroh bahwa Nabi Nabi membagikan ghanimah (harta rampasan perang) Bani Nadhir kepada kaum Anshar, yang memang membutuhkan. Kaum Anshor (Penduduk asli Madinah) yang mendapat bagian harta rampasan perang Bani Nadhir adalah Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah Sumaki bin Kharisyah, karena keadaan keduanya sangat membutuhkan secara ekonomis. Dalam pandangan Islam, dibedakan antara ghonimah dan fa’i. Antara keduanya sebenarnya hampir sama, yakni rampasan perang. Bedanya, ghonimah dimaksudkan untuk harta bergerak seperti peralatan militer, perbekalan tentara, atau hal-hal lain yang terkait dengan perang. Sedangkan fa’i mengacu pada tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang sudah terkalahkan (Lbs, 2016).
Adapun tanah Bani Nadhir, Rasulullah tidak membagikannya kepada para sahabat. Tanah itu khusus untuk Rasulullah SAW. Diceritakan, dari tanah yang tidak dibagikan itu, sebagian dari hasilnya diberikan kepada keluarga beliau untuk keperluan hidup selama satu tahun, dan sisanya digunakan Rasulullah SAW untuk keperluan pengadaan amunisi dan persenjataan yang disiapkan untuk perang di jalan Allah SWT. Dalam peristiwa pengusiran Yahudi Bani Nadhir ini, maka turunkan Al-Qur’an surat al-Hasyr [59] ayat 6 yang berbunyi:
Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (al-Hasyr [59] Ayat 6).
Mengacu pada tafsir Ibnu Katsir bahwa ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah SAW dalam melakukan penyerangan terhadap Yahudi Bani Nadhir tidak mengerahkan pasukan berkuda atau pasukan berunta, karena kaum Yahudi meninggalkan perkampungan mereka dengan penuh rasa takut, sehingga Rasulullah tidak perlu melakukan peperangan untuk mengusir mereka. Karena itu, tanah yang ditinggalkan Bani Nadhir khusus untuk Rasulullah SAW, tidak dibagikan kepada para sahabat. Hanya saja, harta fai itu bukan milik pribadi Rasulullah SAW melainkan harta milik negara, karena beliau tidak mewariskan harta itu kepada keturunannya. Karena itu, tanah fai Bani Nadhir merupakan tanah milik negara yang pertama kali diperoleh kaum muslimin dalam sejarah Islam.
Rujukan
Al-muafiri, Abu Muhammad Abu Al-Malik bin Hisyam, 2003, Siroh Nabawiyyah Ibnu Hisyam, Edisi Bahasa Indonesia, terjemahan Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah
Tafsir Ibnu Katsir, 1992, edidi Bahasa Indonesia terjemahan H. Salim Bahreisy dan H. Said Nahreisy, Surabaya: Bina Ilmu
Lbs, Junaidi, 2016, “Pajak Sebagai Sumber Pendapatan Negara (Analisis Sejarah Penentuan Kadar Pajak Di Masa Umar Bin Khattab Menurut Abu Yusuf Dalam Kitab Al-Kharaj),” Al-Intaj Vol. 2, No. 1, Maret 2016