Pelajaran dari Polemik Data Pangan: Perlunya Reformulasi Kebijakan Pertanian Pangan

data-pangan

Polemik data pangan antara Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dengan mantan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (AAS), dan Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu yang lalu – yang menandai awal kegiatan menteri pertanian baru di Kabinet Indonesia Maju —  memberikan hikmah cukup berarti, yakni perlunya reformulasi secara gradual tentang kebijakan pembangunan pertanian pangan menuju swasembada pangan.

Mantan Menteri Pertanian bersikeras bahwa data luasan sawah yang dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tidak akurat, bahkan mengalami deviasi yang sangat tinggi. Sebagai contoh deviasi, menurut AAS, adalah kasus Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Menurut citra satelit yang dipublikasi BPS, wilayah tersebut memiliki 0 hektar lahan sawah, padahal menurut data Kementerian Pertanian, wilayah tersebut seharusnya mempunyai 9 700 hektar sawah (Media Indonesia, 25/10/19).

Atas pernyataan tersebut, BPS, tentu saja, tidak bisa menerima. BPS merasa sudah melakukan langkah-langkah penelitian yang sistematis sesuai kaidah-kaidah ilmiah; dan secara teknis pun BPS sudah melakukan koordinasi dan melibatkan tenaga ahli dari berbagai instansi terkait, seperti Badan Informasi Geospasial, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; dan persiapannya telah diawasi langsung oleh Wakil Presiden M. Yusuf Kala (MI, 25/10/19). Untuk memghitung jumlah gabah kering giling yang dihasilkan, BPS pun telah menggunakan teknik sampling area. Pendek kata, BPS menegaskan, tidak ada alasan datanya tidak akurat.

Menteri Pertanian SYL akhirnya menekankan bahwa beliau lebih percaya pada data BPS, dan Pak Menetri akan menggunakan data BPS – sebagai satu-satunya data—untuk menetapkan kebijakan di kementerian yang dipimpinnya.

 

Konsepsi Dasar Kebijakan

            Polemik data luasan sawah dan jumlah produksi padi/beras terkait dengan kosenspi dasar kebijakan pembangunan pertanian, yang mengakibatkan munculnya pertanyaan seputar akurasi data sawah dan hasil panen.

Lahan pertanian di Indonesia – atau di Asia Tenggapa pada umumnya – adalah milik individu petani atau milik keluarga petani. Maka muncullah istilah family farming system (pertanian sistem keluarga). Menurut Rahardjo (2014), sistem pertanian keluarga ini ditandai dengan lahan sempit, tujuan bertani bersifat subsistence (hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga) dan lemahnya orientasi pasar & keuntungan, padi sebagai tanaman utama, diselingi tanaman sela, dan sering dilengkapi dengan ternak dalam skala kecil. Kondisi petani yang demikian berlangsung sejak zaman tanam kolonial Belanda beratus-ratus tahun yang lalu.

Hasil Survai Pertanian Antar Sensus yang diterbitkan BPS (2018) menunjukkan bahwa rumah tangga petani padi di Indonesia tahun 2018 sebanyak 13 155 108 keluarga; petani palawija 7 129 404 keluarga; dan petani hortikultura sebanyak 10 104 683.

Kebijakan pemerintah dalam pembangunan pertanian lebih bertindak sebagai fasilitator bagi keluarga tani ini, bukan sebagai penyedia pangan bagi rakyat. Produsen padi adalah petani. Jika Pemerintah menginginkan swasembada pangan, maka pemerintah akan melakukan berbagai persuasi agar petani meningkatkan produktivitas usaha tani padi mereka, di mana pemerintah memberikan rangsangan berupa subsidi dan bantuan saprotan. Jika pemerintah menginginkan sustainabilitas lahan pertanian, maka Pemerintah akan menetapkan lahan milik petani tersebut sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak boleh dialihfungsikan, dan jika petani mengalihfungsikannya maka ia akan dikenai sanksi hukum kurungan penjara. Jika lahan milik petani tersebut harganya naik atau petani akan memperoleh keuntungan yang lebih besar jika lahan mereka digunakan untuk kegiatan non-pertanian, maka peluang itu tertutup bagi petani–jika ketentuan tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sudah efektif diterapkan.

Demikian halnya jika Pemerintah menginginkan harga beras yang relatif murah dan terjangkau, maka Pemerintah akan menetapkan harga jual maksimal gabah kering giling per kilogram. Petani tidak boleh memperoleh keuntungan di atas harga yang ditetapkan. Maka, tidak mengherankan jika ada yang sinis mengatakan, bahwa keluarga petani itulah yang sesungguhnya pemberi subsidi bagi orang-orang kaya yang memiliki kemampuan lebih.

Selanjutnya, jika Pemerintah ingin mengetahui, apakah kita sudah mampu berswasembada pangan dari hasil usaha para keluarga tani tersebut, maka Pemerintah akan menghitung luasan lahan milik petani; menghitung jumlah tonase hasil panen per hektar dari sawah milik pribadi petani. Dalam hal ini berbagai pihak pemangku kepentingan akan melakukan survai tentang luasan lahan dan hasil panen setiap hektar. Di Indonesia kita memiliki kebiasaan melakukan sensus pertanian setiap 10 tahun sekali, seperti sensus pertanian 1993, 2003, 2013, dan kita akan melakukan sensus pertanian  tahun 2023. Ada juga survai pertanian antara, seperti yang dilakukan tahun 2018.

Sensus menghasilkan data yang lebih akurat. Namun sensus tidak mungkin dilakukan setiap tahun. Masalah muncul ketika Pemerintah ingin mengetahui kekurangan beras setiap tahun. Berapa sesungguhnya produksi beras produksi petani di tahun tertentu? Berapa kekurangan beras untuk mencukupi jumlah penduduk di tahun tertentu? Berapa kekurangan beras yang harus kita import di tahun tertentu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, siapa pun pasti akan melakukan survai sampel, dengan berbagai teknik sampling dan prediksi statistik. Juga akan menggunakan teknologi mutakhir seperti citra satelit. Juga akan mengandalkan laporan dari para pejabat yang ada pada berbagai Dinas terkait. Dalam hal ini seakan-akan Pemerintah merupakan pihak luar yang ingin mengetahui persoalan internal rumah tangga petani. Jika hamparan sangat luas meliputi seluruh Indonesia, data harus diketahui dengan cepat, dan anggaran terbatas, hal ini menjadi persoalan tersendiri yang berpengaruh pada akurasi data.

Selain itu, lahan pertanian milik petani itu sangat dinamis. Pemerintah tidak mungkin bisa melakukan kontrol secara akurat alih fungsi lahan yang dilakukan petani setiap tahun, seperti lahan yang diperguankan untuk pembangunan rumah atau kepentingan lain yang terkait dengan kehidupan keluarga petani secara internal. Sebagai ilustrasi, jika petani memiliki 5 orang anak, dan di antara mereka sudah berkeluarga, maka kemungkinan petani akan membangun rumah pada sebagian lahan mereka. Jika keluarga baru itu memerlukan tempat usaha, maka ia akan menggunakannya. Alih fungsi lahan tersebut seringkali tidak dilakukan secara formal (melalui prosesdur resmi) tetapi dilakukan secara diam-diam, tidak memakai proposal dan tidak dilakukan melalui izin mendirikan bangunan secara resmi.

Soal dinamika lahan  milik petani ini diakui sendiri oleh BPS sendiri. “Data luas sawah ini dinamis. Kalau memang ditemukan, masih ada titik titik yang belum terpantau, kami sangat terbuka untuk menyempurnakan. Karena semangat dari pembentukan data ini adalah menciptakan satu data yang kredibel dan itu butuh proses yang tidak instan,” demikian Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Badan Pusat Statistik mengungkapkan (MI, 25/10/19).

Kita tidak menyangkal kemampuan prediktif dan akurasi data dari hasil analsis dan uji-uji statistik. Kita juga tidak menolak kemampuan teknologi citra satelit untuk identifikasi sawah-sawah secara spasial di setiap penjuru wilayah Nusantara. Namun dalam analisis statistik terdapat ungkapan, “sampah yang masuk, maka sampah yang keluar.”

Dalam beberapa penelitian – di mana kami melakukan dialog dengan para penyuluh pertanian, staf-staf di Dinas Pertanian, dan dengan Kepala Cabang Dinas, terus terang mereka sering membuat laporan hasil panen lebih banyak dari angka yang sebenarnya; juga melaporkan luasan lahan lebih luas dari yang sesungguhnya. Walaupun mereka mengetahui bahwa lahan pertanian padi itu sudah alih fungsi, tetapi mereka masih melaporkannya sebagai sawah yang utuh. Dalam hal ini terdapat budaya ewuh pakewuh – di mana mereka ingin menyenangkan pimpinan dan ingin menunjukkan yang lebih baik. Mereka tidak ingin melaporkan yang kurang baik, karena berimbas pada reward yang kurang baik bagi mereka dan bagi atasan mereka. Itulah tradisi birokrasi kita.

Apa yang ingin kita sampaikan dalam hal ini adalah munculnya persoalan akurasi data tentang luas lahan dan hasil panen itu akibat dari konsepsi dasar kebijakan pembangunan pertanian. Karena itu, perlu adanya reformulasi kebijakan pertanian pangan.

 

Bukan Fasilitator tetapi Penyedia Pangan

            Sebagai alternatif, konsepsi dasar kebijakan pembangunan pertanian pangan sebaiknya menempatkan Pemerintah bukan hanya sbagai fasilitator melainkan sebagai “penyedia pangan.” Raharjo (2014) mengemukakan istilah “pertanian negara” (state farming) di samping pertanian keluarga (family farming). Jika “fasilitator” hanya mengarahkan, mendorong, dan mengembangkan lahan pertanian milik petani,  maka “penyedia pangan” aktif memproduksi pangan dengan menyediakan lahan pertanian, melakukan budidaya, menyediakan SDM pertanian, melakukan pengawasan saat melakukan proses produksi, mendistribusikan, dan mengawasi proses distribusi itu dengan ketat.

Lebih jelasnya, setiap Pemda dalam melakukan rencana tata ruang wilayah (RTRW) mengalokasikan lahan untuk produksi pangan, yang berasal dari lahan milik negara, atau lahan masyarakat yang dibeli oleh negara. Luasan lahan yang disediakan oleh Pemerintah sebanding dengan jumlah beras yang diperlukan masyarakat sesuai prediksi pertambahan jumlah penduduk sampai rentang waktu tertentu. Pemerintah juga menyediakan SDM untuk mengelola lahan pertanian, serta merumuskan pola kemitraan antara Pemerintah dengan petani/kelompk tani. Selanjutnya, tugas-tugas Pemerintah dalam penyediaan pangan ini dimandatkan kepada BUMN/BUMD.

Dengan demikian, setiap Pemda akan membentuk BUMD yang bertugas: (1)  mengelola lahan pertanian pangan milik Pemda, (2) melakukan kerjasama dengan petani/kelompok tani dalam melakukan budidaya padi; (3) melakukan pengolahan pascapanen; dan (4) melakukan distribusi hasil produksi beras kepada masyarakat. Distribusi pangan tidak diserahkan pada mekanisme pasar melainkan dilakukan dan dikontrol oleh Pemerintah.

Namun demikian, individu-individu dipersilahkan memanfaatkan lahan mereka untuk memproduksi padi/beras, tetapi bersifat opsional. Lahan pertanian milik individu dapat digunakan untuk budidaya padi, budidaya komoditas lain, atau bahkan dipersilahkan untuk kegiatan non-pertanian. Tugas penyediaan pangan tidak menjadi beban individu masyarakat melainkan menjadi tugas pemerintah; walaupun Pemerintah tetap mendorong agar individu mencukupi kebutuhan pangan bagi keluarganya dan memproduktifkan lahan mereka. Dalam konteks ini, kita akan mengadop dual system, yakni system pertanian keluarga dan pertanian negara.

Penyediaan pangan bagi warga negara memang spesial, tidak boleh disamakan dengan pengadaan komoditas lain. Pangan merupakan kebutuhan pokok/primer, sehingga menjadi tugas pemerintah untuk memenuhinya. Komoditas-komoditas lain yang merupakan kebutuhan sekunder dapat diserahkan pemenuhannya kepada individu-individu atau masing-masing keluarga, tidak menjadi beban Pemerintah; dan distribusinya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Hal ini berbeda dengan distribusi pangan pokok yang dikontrol sepenuhnya oleh Pemerintah.

Melalaui mekanisme ini, Pemerintah akan mengetahui secara pasti jumlah luasan lahan pertanian pangan yang dimiliki masing-masing Pemda, jumlah produksi padi/beras yang dihasilkan, kecukupan pangan dan peluang kekurangannya dalam rentang waktu tertentu; bahkan Pemerintah akan mengetahui jumlah warga negara di masing-masing daerah yang masih kekurangan pangan. Bersamaan dengan itu, indikator keberhasilan pembangunan bukan diukur berdasarkan pendapatan per kapita, atau berdasarkan indeks pembangunan manusia, melainkan berdasarkan ada atau tidak adanya individu masyarakat yang masih belum mampu memenuhi keutuhan pokoknya. Pembangunan dikatakan berhasil jika seluruh individu sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.

 

Belum Terlambat

Konsepsi dasar kebijakan ini tidak sulit diimplementasikan, dan hal ini belum terlambat walaupun system pertanian keluarga di Indonesia sudah sejak ratusan tahun yang lalu. Secara inovatif, setiap Pemda dapat mengalokasikan lahan milik negara/milik Pemda untuk pesawahan, dan Pemda mengelolanya secara langsung dengan membentuk BUMN/BUMD sebagai produsen/pengelola pangan. PP No. 65/2019 memberikan kemudahan bagi petani untuk memanfaatkan lahan milik negara untuk persawahan. Tentu saja, PP ini perlu penyempurnaan jika Pemerintah bertindak sebagai penyedia pangan.

Selanjutnya, BUMD dapat bekerja sama dengan petani/kelompok tani untuk mengelola lahan pertanian pangan milik negara. Lahan ini tidak boleh dialihfungsikan dan berkedudukan sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan. Melalui proses ini, swasembada pangan akan diraih dalam waktu tertentu secara pelan tapi pasti. IMplementasi kebijakan ini tentunya memerlukan perubahan dan penyempurnaan berbagai system pendukungnya, akan tetapi arah kebijakan sudah jelas dan fokus.***

 

Daftar Rujukan

Badan Pusat Statistik, 2018, Hasil Survai Antar Sensus 2018, Badan Pusat Statistik.

Media Indonesia, 25/10/19

Rahardjo. 2014. Penantar Sosiologi Pedesan dan Pertanian, Penerbit Universitas Gajah Mada, Yoyakarta, Indonesia.

Recommended For You