Prof. Dr. U. Maman Kh., S.S., M.Si
Guru Besar
Ilmu Komunikasi & Pengembangan Masyarakat Tani Program Magister Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahi robbil alamin, wa bihi nastainu alaa umurid dunya wad din, wassholaatu wassalaamu ala asyrofil anbiyaai wal mursaliin, wa alaa aalihi wa ashaabihi ajmain. Amma ba’du.
- Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA, dan segenap pimpinan UIN yang saya hormati dan saya
- Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abudin Nata, MA, beserta para Guru Besar yang saya hormati;
- Para dosen, khususnya dosen di Fakultas Sains dan Teknologi dan para dosen UIN Jakarta pada umumnya yang saya muliakan;
- Para wisudawan dan wisudawati beserta keluarga yang berbahagia
Puji dan syukur mari kita panjatkan ke hadhirat Allah SWT, sholawat beserta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW.
Hadirin Yang saya muliakan
Adalah suatu karunia dari Allah SWT, di mana pada hari ini, Ahad 8 September 2019 M bertepatan dengan 8 Muaharram 1441 H saya dapat menyampaikan orasi ilmiah sebagai Guru Besar di depan forum terhormat Senat Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan di depan sarjana-sarjana baru, sebagai putera-puteri terbaik pelanjut kehidupan berbangsa dan bernegara menuju ridho Allah SWT.
Sedikitpun tidak terbayangkan, saya akan memperoleh posisi terhormat sebagai Guru Besar di Perguruan Tinggi ternama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai seorang anak kampung yang diantarkan oleh ayahanda (alm) H. Zainal Abidin ke sebuah Pesantren di pinggiran Gunung Gede, Sukabumi, Jawa Barat sekaligus masuk Madrasah Tsanawiyyah, saya hanya bercita-cita menjadi seorang Ustadz/Guru ngaji yang pandai melafalkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Namun, berkat inspirasi dari para guru, dan dorongan kuat dari ibunda (almh), Ibu Hj. Mastoah, saya melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Bogor sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren PUI Sirna Bakti, Bogor.
Dunia rasanya semakin terbuka, akhirnya saya bercita- cita ingin melanjutkan kuliah, terutama terinspirasi ketika kakak sulung saya, Kang Asep Usman diterima menjadi mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang saat ini Prof. Dr. Asep Usman Ismail, beradadi forum terhormat ini, sama-sama sebagai Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Allah SWT berkehendak, pada tahun 1983 saya diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Program Studi Sejarah. Namun muncul rasa ketidakpuasan atas bidang studi itu. Akhirnya, setelah tamat dari Prodi tersebut, saya melanjutkan S2 pada Prodi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut Pertanian Bogor, setelah sebelumnya mengikuti pelatihan professional di bidang Manajemen Usaha Tani dan Koperasi Pertanian di The Institute for Development of Agricultural Cooperation in Asia (IDACA), Tokyo, tahun 1993.
Saya sangat berterima kasih kepada pimpinan UIN Jakarta, saat itu Prof. Dr. Azyumardi Azra sebagai rektor, dimana sejak tahun 2000 saya diterima sebagai CPNS Dosen di UIN Jakarta, dan tidak lama setelah turun SK PNS dan saya berstatus sebagai dosen, pada tahun 2002 saya kembali ke kampus IPB mengambil program S3 bidang penyuluhan pembangunan sampai tahun 2008.
Alhamdulillah, berdasarkan Surat Keputusan Menristek Dikti Nomor: 24258/M/KP/2019 tanggal 5 Juli 2019 saya ditetapkan sebagai Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat FST UIN Jakarta. Atas kehormatan ini, sepenuhnya ingin saya persembahkan dengan doa kepada Ibunda, Ibu Hj. Mastoah dan Ayahanda H. Zanal Abidin, almarhum dan almarhumah.
Hadirin Yang Terhormat,
Sebagai anak kampung, saya sering berlari-lari di pematang sawah bermain layang-layang bersama kakak dan adik-adik saya, juga dengan anak-anak sebaya pada masanya. Saya juga menyaksikan para petani bersuka ria mengolah tanah dengan kerbaunya, ibu-ibu dengan semangat bergotong royong memanen padi yang sudah menguning. Mereka memperoleh “bawon” sebagai bagian/upah dari ikatan padi yang mereka ketam saat panen. Tidak menghiraukan kaya atau miskin, itulah kebersamaan saat panen tiba. Ibunda saya terkadang ikut menuai padi di sawah tetangga, walau beliau berstatus sebagai seorang isteri kiyai kampung, yang memiliki status sosial lebih tinggi di antara masyarakat kampung pada umumnya.
Menggembirakan buat saya, mendengar kata “swasembada pangan” yang disematkan pada Indonesaia tahun 1980-an di Forum FAO. Namun kini nampak bahwa pembangunan pertanian di Indonesia sedang mengalami persoalan sangat serius. Alih fungsi lahan pertanian produktif seakan-akan tidak terkendali. Hasil Sensus Pertanian 1983 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sawah di atas 16 jutaan hektar. Namun, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, jumlah luasan sawah hanya tinggal 8 jutaan hektar (Tabel 2), di mana Indonesia kehilangan 50% sawah dalam kurun waktu 30 tahun. Pada tahun 2017 BPS menyebutkan bahwa luasan sawah hanya tinggal 7,75 juta hektar, dan menurun menjadi 7,1 juta hektar tahun 2018 (CNN Indonesia, 25/10/18). Penurunan luas lahan pertanian ini terjadi secara menyeluruh di lima wilayah utama Indonesia, yakni di Jawa, Bali & Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku & Papua. Penurunan luas lahan sawah yang sangat signifikan terjadi di Bali & NT serta Sumatera & Kalimantan. Dalam kurun waktu 30 tahun, sawah di Sumatera hanya tersisa 40%, dan di Kalimantan hanya tersisa sekitar 24%.
Table 2. Luas Lahan Pertanian Yang Masih Tersisa, 1983-2013
Wilayah | Luas Lahan Pertanian | |||
SP 1983 | SP 1993 | SP 2003 | SP 2013 | |
Java | 5 422 449 | 4 407 029 | 4 019 887 | 4 790 016,8 |
Bali & NT | 1 208 164 | 1 060 218 | 1 095 551 | 499 326,4 |
Sumatera | 5 668 811 | 5 416 601 | 4 249 706 | 1 724 256,9 |
Sulawesi | 1 637 811 | 1 772 444 | 2 184 508 | 1 088 382,2 |
Kalimantan | 2 222 153 | 2 191 596 | 2 096 230 | 526 670,5 |
Maluku & Papua | 544 984 | 576 116 | 494 013 | 57 238,7 |
Indonesia | 16 704 272 | 15 424 004 | 14 139 895 | 8 685 888,7 |
Sumber: Maman dkk., 2017a
Penurunan luas lahan pertanian secara nasional memberikan dampak pada penyempitan luasan sawah di beberapa daerah, juga berpengaruh terhadap berkurangnya luas sawah yang dimiliki keluarga petani. Barokah dkk. (2012) yang melakukan studi di Desa Jaten dan Jumantono, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah menunjukkan, dalam periode 12 tahun (1998-2010) telah terjadi konversi lahan seluas 283 m2 per keluarga petani di Desa Jaten, dan 53 m2 di Desa Jumantono. Menurut Barokah dkk. (2012), rata-rata luasan kepemilikan lahan di Karanganyar pada tahun 1988 seluas 0,3 ha, dan menurun menjadi 0,296 ha pada tahun 2010. Pada saat ini sudah pasti akan terjadi penurunan luasan sawah yang dimiliki keluarga tani.
Kecenderungan yang sama terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Sebuah penelitian yang dilakukan Handari (2012) untuk meraih gelar magister di Universitas Diponegoro, menunjukkan dalam periode 6 tahun (2005-2011) telah terjadi trend penurunan luas sawah. Pada tahun 2005 luas sawah di Magelang tercatat 37.445 ha dan menurun menjadi 37.219 ha pada tahun 2011. Tahun 2012 Handari meramalkan, penurunan luas lahan akan terus terjadi berdasarkan jumlah file usulan perubahan penggunaan lahan di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Magelang, yaitu terdapat 47 file proposal di tahun 2010, 12 file di tahun 2011, dan 15 file di tahun 2012. Menurut Handari (2012), jumlah ini belum termasuk perubahan fungsi lahan yang tidak dilakukan melalui prosedur izin resmi pada BPN.
Ironisnya, penurunan luas lahan petanian ini terjadi di tengah-tengah pertambahan penduduk Indonesia yang terus melaju. Pada tahun 1983 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 158,1 juta. Jumlah ini terus bertambah menjadi 161,1 juta pada tahun 1984; 165,2 juta pada tahun 1984; dan melompat menjadi 255,6 juta pada tahun 2015 (Maman dkk., 2017b). Badan Pusat Statistik (2013) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan mencapai di atas 300an juta di tahun 2035. Dengan pertambahan penduduk, maka kebutuhan akan beras semakin bertambah, karena upaya divesifikasi pangan belum menunjukkan hasil yang signifikan (Maman dkk., 2017c).
Dengan adanya konversi lahan tersebut, muncul berbagai pandangan kritis terhadap pembangunan pertanian di Indonesia. FAO, IFAD dan WFP (2014) mengingatkan bahwa Indonesia berpotensi mengalami krisis pangan akibat konversi lahan pertanian. Dengan menggunakan indikator deforestasi, alih fungsi sawah, degradasi lahan, dan rendahnya kualitas air akibat input kimiawi dalam praktek bertani, The Economist (2017) – sebuah lembaga pemeringkat ketahanan pangan negara-negara di dunia yang berpusat di London – menempatkan Indonesia pada peringkat ke-109 dari 113 negara sebagai negara yang kurang mampu menjaga daya dukung dan daya tahan sumber daya alam bagi ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2018 – berdasarkan indikator tersebut –Indonesia menurun pada peringkat ke-111 dari 113 negara, lebih rendah dari Kongo, Afrika Tengah (The Economist, 2018). Dalam hal ini, The Economist (2018:28) mengingatkan:
“Indonesia’s rapid deforestation and poorly preserved grassland undermine the country’s agricultural productivity. Experts agree that Indonesia needs to develop more effective agrarian policies, including raising yields of subsistence crops, reconstructing irrigation systems and instituting land policies and enforcement that protect land-grabbing from industrialized agriculture.”
(“Deforestasi yang cepat di Indonesia dan jeleknya perlindungan sawah dapat menurunkan produktivitas pertanian Indonesia. Para ahli sepakat bahwa Indonesia perlu mengembangkan kebijakan agrarian yang lebih efektif, termasuk mengembangkan hasil panen para petani subsisten, membangun kembali sistim irigasi, dan melakukan institusionalisasi kebijakan tentang tanah yang dapat melindungi perampasan tanah dari indusrialisasi pertanian…”)
Memang, kini pangan di Indonesia masih tersedia. The Economist (2018) menempatkan Indonesia pada ranking ke-58 pada tahun 2018 dari 113 negara berdasarkan ketersediaan pangan (food availability). Dalam hal ini prestasi Indonesia berada di atas Filipina (yang bearada pada ranking ke-63), di atas Thailand (yang berada pada ranking ke-65), dan di atas Vietnam (yang menempati ranking ke-72). Indikator ketersediaan pangan, menurut The Economist (2017) ialah: (1) kecukupan pasokan pangan, (2) belanja pemerintah untuk penelitian & pengembangan pertanian, 3) kecukupan infrastruktur pertanian, (4) volatility atau kemeriahan produk pertanian, (4) stabilitas politik, (5) daya serap penduduk perkotaan (atas produk pertanian), dan (6) kehilangan pangan. Namun dalam hal ini, The Economist tidak mempersoalkan, apakah ketersediaan pangan tersebut berasal dari produk import atau produk domestik.
Berdasarkan keterjangkauan pangan (Food affordability), The Economist (2018) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-63, jauh di bawah Malaysia (ranking ke-36), Thailand (ranking ke-51), dan Vietnam (ranking ke-56). Indikator keterjangkauan pangan, menurut The Economist (2017) ialah: (1) pengeluaran rumah tangga untuk belanja pangan; (2) proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dunia, keseimbangan daya beli, dan nilai tukar; (3) Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita; (4) Tarif import produk pertanian; (4) program jaring pengaman pangan; dan (5) akses petani terhadap pembiayaan pertanian. Indikator- indikator ini seakan-akan merekomendasikan pangan import untuk keterjangkauan
Berdasarkan kualitas & keamanan pangan (food quality & safety), Indonesia berada pada ranking ke-84 dari 113 negara; jauh di bawah Malaysia (ranking ke-38), Thailand (ranking ke-58), Vietnam (ranking ke-65), Filipina (ranking ke-69), Myanmar (ranking ke-72), bahkan di bawah negara-negara Afrika, seperti Nigeria (ranking ke-77), Bostwana (ranking ke- 81), dan Kenya (ranking ke-83). Indikator kualitas dan keamanan pangan yang digunakan The Economist (2017) untuk pemeringkatan ini ialah: (1) diversifikasi menu makanan, (2) standar nutrisi, (3) ketersediaan mikronutrisi, (4) kualitas protein, dan (5) keamanan pangan.
Namun berdasarkan daya dukung lahan pertanian, The Economist (2017) menempatkan Indonesia pada ranking ke- 109 dari 113 negara, dan pada tahun 2018 anjlok pada ranking ke-111 dari 113 negara, di bawah Kongo, Afrika Tengah (The Economist, 2018). Artinya, Indonesia berhasil menyediakan pangan, namun dengan harga yang kurang terjangkau, dengan kualitas yang kurang baik, dan kurang ditopang oleh ketahanan sumber daya alam bagi sustainabilitas ketersediaan pangan di Indonesia, sehingga sangat rentan bagi terjadinya krisis pangan.
Senat Guru Besar Yang Terhormat!
Pemerintah Indonesia bersama DPR sebenarnya sudah menyadari pentingnya menjaga dan memelihara sustainabilitas lahan pertanian. Pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia bersama DPR telah mensahkan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). UU ini dimaksudkan untuk menahan laju alih fungsi lahan pertanian pangan produktif. UU ini mengamatkan agar setiap Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam merencanakan tata ruang wilayah, harus mengalokasikan lahan bagi pertanian pangan yang tidak boleh dialihfungsikan. Lahan inilah yang disebut dengan “lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).” Jika Pemda sudah menetapkan lahan sebagai LP2B, maka lahan tersebut dilindungi dan dilarang alih fungsi, sesuai Pasal 44 Ayat 1 UU tersebut. Pihak yang berani melakukan alih fungsi LP2B, akan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan didenda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Namun secara faktual nampak bahwa UU ini kurang efektif. Pemda tampak kesulitan untuk menetapkan lahan yang akan dijadikan LP2B akibat banyak kebutuhan – atau bahkan rebutan – dari sektor-sektor pembangunan lainnya terhadp lahan, seperti kebutuhan sektor industri, pertambangan, perumahan, perkantoran, dan juga infrastruktur. Petani sendiri cenderung menolak pembentukan LP2B, terutama karena harga lahan yang terus meninggi akibat banyaknya permintaan terhadap lahan. Jika lahan mereka ditetapkan sebagai LP2B – dan tidak boleh dialih fungsikan – hal ini menimbulkan potensi kerugian ekonomi bagi petani, terutama bagi petani yang lahan mereka berada di kawasan strategis akibat naiknya harga lahan yang terus menerus. Sampai saat ini juga belum ada regulasi terkait pemberian kompensasi kerugian ekonomi bagi petani yang lahan mereka dijadikan LP2B.
Sebagai gambaran, penelitian yang kami lakukan di Kecamatan Bangodua Indramayu, Jawa Barat – yang lahan mereka potensial dijadikan LP2B – menunjukkan bahwa petani cenderung menolak larangan alih fungsi lahan. Uji X2 (Chi square) terhadap 100 orang sampel yang ditarik secara acak proporsional dari delapan desa di Kecamatan Bangodua menunjukkan bahwa karakteristik petani cenderung memperkuat pandangan negatif terhadap rencana pembentukan LP2B. Hanya terdapat dua peubah yang memberikan kontribusi positif terhadap rencana pembentukan LP2B, yakni tingkat pendidikan dan peluang kerja di sektor non-pertanian. Artinya, semakin rendah tingkat pendidikan petani cenderung menerima kebijakan LP2B. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan petani, cenderung menguat penolakan terhadap LP2B. Hal ini tidak mengherankan karena dengan semakin tinggi tingkat pendidikan, petani melihat adanya peluang pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan produktif di sektor non-pertanian. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, petani tidak melihat peluang pemanfaatan lahan untuk kegiatan di luar sektor pertanian.
Kecenderungan demikian sejalan dengan penemuan lain bahwa adanya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian memperkuat penolakan mereka terhadap LP2B, karena mereka dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan-kegiatan di sektor non-pertanian. Sebaliknya, petani yang tidak melihat adanya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian, mereka cenderung menerima LP2B (Table 3).
Tabel 3. Hubungan Peubah Karakteristik Petani dengan Kecenderungan Negatif (Penolakan) terhadap LP2B
No | Peubah | Chi Square
(X2) |
Nilai p |
1 | Umur | 0,022 | 0,881 |
2 | Jumlah anggota rumah tangga | 0,603 | 0,437 |
3 | Lama pengalaman bertani | 0,108 | 0,743 |
4 | Tingkat pendidikan | 9,189 | 0,010** |
5 | Luas lahan yang dimiliki | 2,070 | 0,355 |
6 | Pendapatan usahatani padi | 3,101 | 0,212 |
7 | Adanya pekerjaan lain selain bertani | 3,988 | 0,046** |
8 | Kepuasan terhadap bantuan benih | 0,533 | 0,465 |
Keterangan : **Sangat Signifikan
Sumber : Diolah dari Apriyanti (2018)
Demikianlah, tersedianya alternatif pekerjaan mendorong petani untuk meninggalkan sektor pertanian. Para petani Subak Jadi, Tabanan, Bali memiliki kecenderungan kuat untuk melakukan alih fungsi lahan, bahkan cenderung menjual lahan. Lebih dari 70% petani Subak Jadi setuju dan sangat setuju bahwa konvesi lahan dapat memecahkan persoalan ekonomi petani; bahwa lahan pertanian merupakan komoditas untuk diperjualbelikan; dan bahwa lahan pertanian tidak mampu menghasilkan produksi yang diharapkan. Sejalan dengan kecenderungan ini, sebanyak 57 persen petani sampel setuju dan sangat setuju bahwa lahan pertanian lebih bermanfaat untuk perumahan (Table 4).
Tabel 4. Orientasi Petani terhadap Lahan Pertanian
No. | Indikator | SS | S | TS | STS | ||||
Res | % | Res | % | Res | % | Res | % | ||
1 | Konvesi lahan dapat memecahkan persoalan
ekonomi petani |
17 | 15,18 | 68 | 60,71 | 25 | 22,32 | 1 | 1,79 |
2 | Lahan pertanian merupakan komoditas ekonomi | 27 | 24,11 | 58 | 51,79 | 21 | 18,75 | 6 | 5,36 |
3 | Lahan tidak mampu menghasilkan produksi yang diharapkan | 9 | 8,04 | 86 | 76,79 | 16 | 14,29 | 1 | 0,89 |
4 | Lahan untuk perumahan lebih bermanfaat | 16 | 4,29 | 60 | 53,57 | 31 | 27,68 | 5 | 4,46 |
Sumber: Diolah dari Dwipradnyana, 2014, hal. 85
Industrialisasi dan alih fungsi lahan cenderung berimbas pada petani di daerah-daerah sekitarnya, sekalipun lahan mereka masih utuh. Para pemuda yang sudah berpendidikan SMA – atau yang setingkat – atau lebih tinggi di Kecamatan Gekbrong dan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur berada pada zona non-komitmen terhadap lahan mereka; padahal orang tua mereka adalah petani pemilik lahan, dan pemuda tersebut akan menjadi pewaris lahan pertanian produktif. Lebih jelasnya, dari 100 orang pemuda sampel yang ditarik dengan teknik snow ball dari 11 desa di dua kecamatan tersebut, lebih dari 60% berada pada zona non-komitment terhadap lahan mereka untuk melanjutkan usaha tani atau menjual lahan mereka. Padahal lahan mereka belum terkena proses industrialisasi, walaupun mereka sudah mengetahui bahwa lahan di sekitarnya sudah banyak yang alih fungsi (Maman dkk., 2018).
Kecenderungan untuk beralih pada sektor non- pertanian tidak mengherankan karena kecilnya penghasilan dari sektor pertanian, khususnya padi. Berdasarkan ratio nilai sewa yang diperoleh petani dengan mereka yang bergerak di luar sektor pertanian, ternyata terdapat perbedaan sangat tajam. Pada tahun 1996 perbedaan tersebut 1:622 untuk perumahan; 1:500 untuk kawasan industri; 1:14 untuk wilayah pariwisata (Irawan, 2005). Jika perbandingan dilakukan sekarang, kemungkinan perbedaan akan semakin tajam, dan semakin menurunkan minat bertani.
Secara faktual, petani yang berani melakukan konversi lahan pertanian, mereka memperoleh penghasilan lebih besar. Dengan menggunakan “Future value formula,” penelitian Asmara (2011) di Desa Mekarwangi, Kota Bogor, Jawa Barat menunjukkan, 50% petani memperoleh kenaikan penghasilan sebanyak 100% per tahun setelah menjual lahan dan bekerja di sektor non-pertanian. Perbandingan ini dilakukan antara tahun 2000 sebelum menjual lahan dan tahun 2010 setelah menjual lahan dan melakukan kegiatan di luar sektor pertanian.
Tambahan lagi, usaha di sektor pertanian berpeluang menghadapi berbagai risiko, seperti gagal panen akibat serangan hama & penyakit, kekeringan, kebanjiran, atau bencana alam lainnya. Selain itu, usaha pertanian merupakan kerja kasar, kotor, dan lama untuk menghasilkan uang. Orientasi petani dalam berusaha tani padi saat ini mengharapkan keuntungan yang layak, bagi yang mampu memberikan kehidupan sehari-hari keluarganya, menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, dan kebutuhan lainnya, tidak lagi bersifat subsisten, hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Senat Guru Besar dan Hadirin Yang Terhormat
Kelangkaan pangan merupakan risiko bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Alih fungsi lahan pertanian pangan merupakan risiko besar yang mengakibatkan redupnya kemandirian sebuah bangsa, dan akan sangat tergantung pada pangan import. Hal ini sangat rentan terhadap kebijakan yang ditetapkan negara-negara sumber pangan. Karena itu, perilaku dan kondisi petani yang cenderung melakukan konversi lahan pertanian pangan, atau menjual lahan tersebut dan dialih fungsikan oleh pihak lain merupakan risiko pada level mikro.
Melalui pendekatan rantai pasok (supply chain) – yakni proses tersajinya barang dari produsen sampai ke konsumen – kami melakukan identifikasi perilaku petani yang mengarah pada konversi lahan, baik fase pratanam, budidaya, maupun fase panen & pascapanen. Berdasarkan hasil studi pustaka, yang kemudian dilakukan wawancara mendalam dengan aktivis kelompok tani andalan di Gekbrong dan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur, kami menemukan tujuh risiko perilaku dan kondisi petani pada masa pratanam, yang mengarah pada konversi lahan. Dari tujuh risiko tersebut, terdapat lima risiko yang paling sering muncul, yakni: 1) lahan sempit yang mengakibatkan infisiensi bertani; 2) keuntungan sangat minimal; 3) menjual lahan lebih menguntungkan; 4) lama menghasilkan uang, padahal terdesak kebutuhan; dan 5) menjual lahan menjadi solusi alternatif (Tabel 5).
Table 5. Risiko-Risiko Yang Mengarah Pada Konversi Lahan pada Tahap Pratanam
Tahapan Proses | Titik Kontrol
Risiko |
Kode | Risiko Konversi Lahan | Si |
Pratanam | Terlalu Sulit (RCP-1) | R-1 | Tidak mau bertani karena beranggapan sulit
mempersiapkan persemaian |
3 |
R-2 | Tidak mau bertani karena beranggapan sulit
memelihara persemaian |
1 | ||
Lahan Sempit
(RCP-2) |
R-3 | Tidak mau bertani karena lahan terlalu sempit,
sehingga tidak efisien |
7 | |
R-4 | Tidak mau bertani karena, dengan lahan sempit,
keuntungan kecil; |
7 | ||
R-5 | Mejual lahan lebih menguntungkan dari pada
bertani dengan lahan sempit |
7 | ||
Lama Menghasil- kan Uang
(RCP-3) |
R-6 | Tidak mau bertani karena budidaya padi perlu waktu
lama untuk menghasilkan uang; |
7 | |
R-7 | Lebih baik menjual lahan dan bekerja di sektor non-
pertanian untuk lebih cepat memperoleh uang |
7 |
Sumber: Maman dkk. (2017b)
Table 6. Risiko-Risiko Yang Mengarah Pada Konversi Lahan pada Tahap Budidaya dan Pemeliharaan Tanaman
Tahana Proses | Titik Kontrol Risiko | Kode | Risiko Konversi Lahan | Si |
Budidaya & Pemelihara-an Tanaman | Kerja Kasar (RCP4) | R-8 | Tidak mau bertani karena
harus kerja fisik yang berat |
4 |
R-9 | Tidak mau bertani karena
kotor dan becek |
4 | ||
R-10 | Tidak mau bertani karena beranggapan bahwa bertani
merupakan kegiatan wong cilik dan miskin |
1 | ||
R-11 | Tidak mau bertani karena beranggapan bahwa bertani
hanya bagi orang berpendidikan rendah |
4 | ||
R-12 | Lebih baik mejual lahan dan bekerja di sektor lain dari
pada bertani |
7 | ||
Serangan Hama (RCP-5) | R-13 | Tidak mau bertani karena
sulit mengamati hama |
7 | |
R-14 | Tidak mau bertani karena
berisiko serangan hama dan penyakit |
5 | ||
R-15 | Lebih baik menjual lahan dan bekerja di bidang lain karena bertani brisiko kena
serangan hama |
7 | ||
Tergantung Musim (RCP-6) | R-16 | Tidak mau bertani karena berisiko kekeringan | 7 | |
R-17 | Lebih baik menjual lahan dan bekerja di bidang lain
dari pada sering kekeringan |
5 | ||
R-18 | Lebih baik menjual lahan karena lahan sudah lama kering, tidak ada lagi saluran
air; |
3 |
Sumber: Maman dkk. (2019)
Kecenderungan yang sama terjadi pada fase budidaya. Dari 11 potensi risiko fase budidaya, terdapat 4 risiko yang sering mucul, yakni: 1) kesulitan mengamati hama, 2) risko terkena serangan hama & penyakit, 3) risiko kekeringan, yang akhirnya 4) terjadi akumulasi kekecewaan yang bermuara pada hasrat menjual lahan dan bekerja di luar sektor pertanian.
Pada saat panen seharusnya petani bersuka CITA. Tapi, faktanya sekarang ini tidak demikian. Pengalaman kelompok tani di Gekbrong dan Warung Kondang – yang merupakan salah satu sentra pangan di Cianjur yang terkenal dengan berasnya yang memiliki aroma khas pandan wangi — terdapat 5 risiko yang sering muncul pasca panen, yakni: 1) biaya bertani dirasakan terlalu berat, 2) keuntungan ternyata sangat kecil, 3) gagal panen menimbulkan trauma tersendiri; 4) yang akhirnya berfikir menjual lahan dan bekerja di luar pertanian; dan 5) bagi petani tertentu terfikir untuk melakukan bisnis jual beli lahan, yang mengakibatkan penyusutan luas lahan pertanian.
Tabel 7. Risiko-Risiko Yang Mengarah Pada Konversi Lahan pada Tahap Panen dan Pascapanen
Tahapan Proses | Titik Kontrol Risiko | Kode | Risiko Konversi Lahan | Si |
Panen & Pascappanen | Biaya
Tinggi (RCP-7) |
R-19 | Tidak mau bertani karena beban
biaya untuk budidaya padi terlalu berat bagi petani |
7 |
R-20 | Lebih baik menjual lahan karena keuntungan dari budidaya padi
sangat kecil |
7 | ||
Gagal Panen
(RCP-8) |
R-21 | Tidak mau bertani karena khawatir terjadi kegagalan
panen |
7 | |
R-22 | Lebih baik menjual lahan karena
sering gagal panen |
5 | ||
Harga Jual Murah (RCP-9) | R-23 | Tidak mau bertani karena
keuntungan yang diperoleh dari budidaya padi sangat kecil |
5 | |
R-24 | Lebih baik menjual lahan dan bekerja di luar pertanian karena
berpeluang memperoleh keuntungan lebih besar. |
7 | ||
R-25 | Lebih baik menjual lahan dan membeli di tempat lain, karena akan memperoleh selisih yang cukup besar antara harga jual
dengan harga beli |
7 | ||
R-26 | Lebih baik menjual lahan karena harga saprodi tidak sebanding dengan keuntungan yang
diperoleh |
3 |
Sumber: Maman dkk. (2018)
Senat Guru Besar dan hadirin yang terhormat!
Risiko-risiko tersebut perlu dikontrol dan dikendalikan untuk menjaga sustainabilitas pertanian dan penyediaan pangan. Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam mitigasi risiko, seringkali kita tidak tertarik pada risiko yang terjadi, tetapi lebih terfokus pada pengendalian agen (penyebab) risiko. Karena itu, kami melakukan kajian mendalam tentang berbagai penyebab risiko, baik fase pratanam, budidaya, dan fase panen melalui studi pustaka dan wawancara mendalam dengan pengurus kelompok tani andalan di Gekbrong dan Warung Kondang. Hasil kajian itu, tersaji dalam Tabel 8, 9, dan 10 di bawah ini.
Tabel 8. Agen Risiko Konversi Lahan dan Kemunculannya Masa Pratanam
Tahapan
Proses |
Titik Kontrol
Risiko |
Kode | Agen Risiko Konversi Lahan | Oi |
Pratanam | Terlalu Sulit (RCP-1) | A-1 | Para petani belum memiliki kesiapan mental untuk bertani; | 3 |
A-2 | Ketrampilan petani belum memadai untuk mengelola
persemaian; |
3 | ||
Lahan Sempit (RCP-2) | A-3 | Belum berhasil mengembangkan kerjasama antar petani untuk mengatasi inefisiensi akibat
lahan sempit; |
7 | |
A-4 | Belum berhasil mengembangkan
komoditas penopang padi yang lebih efisien di lahan sempit; |
6 | ||
A-5 | Lahan menjadi sebuah komoditas dengan harga sesuai mekanisme pasar | 8 | ||
Lama Menghasilka n uang (RCP-3) | A-6 | Belum ada jaminan hidup bagi
petani selama budidaya padi; |
8 | |
A-7 | Belum adanya kontrol terhadap kenaikan harga lahan yang terus
menerus; |
9 |
Sumber: Maman dkk. (2017b)
Tabel 9. Agen Risiko Konversi Lahan dan Kemunculannya Masa Budidaya dan Pemeliharaan Tanaman
Tahapan Proses | Titik Kontrol Risiko | Kode | Agen Risko Konversi Lahan | Oi |
Budidaya & Pemeliha- raan Tanaman | Kerja kasar (RCP4) | A-8 | Belum optimal penggunaan
teknologi tepat guna yang dapat mengurangi kerja fisik |
7 |
A-9 | Masih ada anggapan bahwa bekerja di sektor non-pertanian
lebih terhormat |
7 | ||
A-10 | Masih ada anggapan bahwa
martabat petani sangat rendah; |
5 | ||
A-11 | Masih ada anggapan, bertani tidak pantas bagi orang yang
berpendidikan tinggi; |
7 | ||
A-12 | Masih ada anggapan, menjual lahan merupakan pemecahan
masalah bagi petani |
7 | ||
Serangan Hama (RCP-5) | A-13 | Ketrampilan pengendalian hama masih rendah | 7 | |
A-14 | Ketrampilan budidaya padi
yang sehat belum memadai |
7 | ||
A-15 | Belum optimal jaminan kerugian akibat serangan hama
dan penyakit tanaman; |
7 | ||
Tergantung Musim (RCP-6) | A-16 | Sarana dan prasarana irigasi
belum memadai |
7 | |
A-17 | Belum ada sarana
penampungan air yang memadai |
7 | ||
A-18 | Belum ada peraturan yang
tegas mengenai larangan pengeringan lahan pertanian. |
7 |
Sumber: Maman dkk. (2019)
Tabel 10. Agen Risiko Konversi Lahan dan Kemunculannya Masa Panen dan Pascapanen
Tahapan Proses | Titik KOntrol Risiko | Kode | Agen Risiko Konversi Lahan | Oi |
Panen & Pascapanen | Biaya Tinggi (RCP-7) | A-19 | Bantuan untuk budidaya padi dari Pemerintah masih terlalu
kecil |
7 |
A-20 | Menjual lahan dan alih profesi lebih menjanjikan
keuntungan dari pada bertani. |
7 | ||
Gagal Panen (RCP-8) | A-21 | Insentif gagal panen masih
belum dirasakan manfaatnya oleh petani |
7 | |
A-22 | Belum ada insentif rutin bagi
petani |
9 | ||
A-23 | Belum ada jaminan hari tua
bagi petani |
9 | ||
Harga Jual Murah
(RCP-9) |
A-24 | Dalam usaha tani padi, sebagian besar keuntungan
jatuh pada pedagang beras |
9 | |
A-25 | Produk pertanian pangan
masih terlalu murah |
7 | ||
A-26 | Belum adanya mekanisme kontrol untuk
menyeimbangkan keuntungan sektor pertanian dan non-pertanian |
9 |
Sumber: Maman dkk. (2018)
Senat Guru Besar dan Hadirin yang terhormat,
Untuk memastikan agen-agen risiko yang perlu menjadi prioritas mitigasi, kami mencoba menganalisisnya dengan menggunakan model House of Risk (HOR)-1 (Pujawan dan Geraldin, 2009), dengan mempertimbangkan tingkat kemunculan agen risiko (Oj), level kejadian risiko (Si), dan dampak agen risiko terhadap kejadian risiko (Rij) – walaupun dalam hal ini diakui kemungkinan adanya bias pandangan nara sumber (tokoh petani). Hasil analisis tersebut kami sajikan dalam bentuk Agregat Potensi Risiko (ARP) atau Agregat Potensi Risiko Konversi Lahan (ALCRP), yang kami visualisasikan dalam Diagram Pareto (Gambar 1,2, dan3).
Hasil analisis ini menunjukan, terdapat empat agen risiko utama pada fase pratanam yang memberikan kontribusi akumulatif sebanyak 80% terhadap risiko terjadinya konversi lahan (Gambar 1). Secara berturut-turut agen risiko tersebut ialah: (1) Lahan menjadi komoditas dengan harga sesuai mekanisme pasar (28%); (2) Belum berhasil mengembangkan komoditas penopang padi yang lebih efisien di lahan sempit (21%); (3) Belum adanya kontrol terhadap kenaikan harga lahan (16%); dan (4) belum adanya jaminan hidup bagi petani selama budidaya padi (14%).
Selain itu, ditemukan tujuh agen risiko utama pada fase budidaya yang mengakumulasi 78% bagi terjadinya konversi lahan. Ketujuh agen tersebut dan masing-masing kontribusinya ialah: (1) Masih rendahnya keterampilan pengendalian hama (16%); (2) Belum optimalnya jaminan kerugian akibat serangan hama dan penyakit tanaman (13%); (3) Belum adanya peraturan yang tegas mengenai larangan pengeringan lahan pertanian (11%); (4) Masih adanya anggapan bahwa bekerja di sektor non-pertanian lebih terhormat (11%); (5) Belum optimalnya penggunaan teknologi tepat guna yang dapat mengurangi kerja fisik (9%;); (6) Belum memadainya keterampilan budidaya padi sehat (9%); dan (7) Masih ada anggapan, bahwa menjual lahan merupakan pemecahan masalah bagi petani (9%).
Gambar 1. Agregate Potensi Riko Fase Pratanam (Maman dkk., 2017b)
Gambar 2. Aggregat Potensi Risiko dalam Proses Budidaya (Maman dkk., 2019)
Gambar 3. Aggregat Potensi Risiko Pascapanen (Maman dkk, 2018)
Agen risiko lain yang ditemukan pada fase panen dan pascapanen ialah: (1) Belum adanya mekanisme kontrol untuk menyeimbangkan keuntungan sektor pertanian dan non-pertanian (17%); (2) Dalam usaha tani padi, sebagian besar keuntungan jatuh pada pedagang beras (17%); (3) Produk pertanian pangan masih terlalu murah (16%); (4) Menjual lahan dan alih profesi lebih menjanjikan keuntungan dari pada bertani (16%); dan (5) Bantuan untuk budidaya padi dari Pemerintah masih terlalu kecil (14%). Secara akumulatif agen risiko ini memberikan kontribusi 80% bagi peluang terjadinya konversi lahan pertanian pangan produktif.
Senat Guru Besar dan hadirin yang terhormat!
Dengan mengendalian empat agen risiko fase pratanam, sebanyak 80% peluang terjadinya risiko konversi lahan pertanian pangan yang mucul pada fase pratanam dapat dihilangkan. Dengan melakukan mitigasi terhadap tujuh agen risiko pada saat budidaya & pemeliharaan tanaman, sebanyak 78% risiko yang mengarah pada konversi lahan, dapat dikendalikan. Demikian halnya, dengan mengontrol lima agen risiko saat panen & pascapanen, peluang risiko terjadinya risiko konversi lahan, sebanyak 80% dapat dihindari.
Namun, yang menjadi pertanyaan, apa saja tindakan kongkrit yang harus dilakukan untuk mengendalikan agen-agen risiko tersebut?
Sebagai “penyuluh pertanian,” kami melakukan identifikasi program-program aksi yang tepat untuk mitigasi risiko-risiko konveri lahan yang sudah disebutkan, dengan melakukan studi pustaka dan wawancara mendalam dengan para pemimpin kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani yang prominen di Gekbrong dan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kegiatan identifikasi ini dibantu oleh para mahasiswa Prodi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Jakarta. Melalui proses ini, kami menemukan tujuh aksi mitigasi yang dapat dilakukan pada fase pratanam (Tabel 11); sepuluh aksi mitigasi pada fase budidaya & pemeliharaan tanaman (Tabel 12), dan delapan aksi mitigasi yang dapat dilakukan pada fase panen & pasca panen (Tabel 13).
Tabel. 11. Usulan Mitigasi Risiko Konversi Lahan Fase Pratanam
Tahapan
Proses |
Titik Kontrol
Risiko |
Kode | Mitigasi Risiko
Konversi Lahan |
Dk |
Pratanam | Terlalu sulit (RCP-1) | M-1 | Penyuluhan pertanian lebih
diarahkan pada pembentukan kesiapan mental bertani; |
5 |
M-2 | Melakukan training
peningkatan mengelola persemaian; |
3 | ||
Lahan Sempit (RCP-2) | M-3 | Pengembangan kerjasama kelompok harus menjadi fokus pembangunan
pertanian |
5 | |
M-4 | Diversifikasi pangan menjadi keharusan dalam
pembangunan pertanian; |
5 | ||
M-5 | Pemerintah mengatur mekanisme penjualan lahan
pertanian subur; |
5 | ||
Lama menghasilkan uang
(RCP-3) |
M-6 | Pemerintah menanggung dan menjamin biaya pengadaan
pangan pokok |
5 | |
M-7 | Pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengontrol kenaikan harga lahan
pertanian |
5 |
Sumber: Maman dkk. (2017)
Tabel 12. Usulan Mitigasi Risiko Konversi Lahan Fase Budidaya
Tahapan Proses | Titik Kontrol Risiko | Kode | Mitigasi Agen Risiko | Dk |
Budidaya & Pemeli- haraan
Tanaman |
Kerja Kasar (RCP4) | M-8 | Optimalisasi penggunaan teknologi tepat guna yang mengurangi pekerjaan
fisik |
5 |
M-9 | Membentuk relawan yang terampil dan bangga
bekerja di sektor pertanian padi |
5 | ||
M-10 | Bekerjasama dengan
berbagai kalangan membentuk opini bahwa bertani itu terhormat |
5 | ||
M-11 | Pemerintah menampung lahan pertanian pangan subur yang dijual oleh
pemiliknya |
5 | ||
Serangan hama (RCP-5) | M-12 | Peningkatan ketrampilan
pengendalian hama |
5 | |
M-13 | Peningkatan ketrampilan
budidaya padi sehat |
5 | ||
M-14 | Optimalisasi jaminan kerugian akibat serangan
hama dan penyakit tanaman |
5 | ||
Tergantung musim
(RCP-6) |
M-15 | Memperbaiki dan meningkatkan fasilitas
pengairan |
4 | |
M-16 | Menyediakan sarana penampungan air di
musim penghujan |
4 | ||
M-17 | Melarang pengeringan
sawah beririgasi teknis; |
5 |
Sumber: Maman dkk. (2019)
Tabel 13. Usulan Mitigasi Risiko Konversi Lahan Fase Panen & Pascapanen
Tahapan Proses | Titik
Kontrol Risiko |
Kode | Mitigasi Risiko Konversi Lahan | Dk |
Panen &
Pascapa-nen |
High Cost
(RCP-7) |
M-18 | Peningkatan bantuan bagi
petani |
5 |
M-19 | Pemerintah mengelola lahan milik Negara sebagai
penyedia utama pangan bagi rakyat. |
5 | ||
Harvest fail
(RCP-8) |
M-20 | Perlu optimalisasi insentif
gagal panen |
5 | |
M-21 | Perlu ada jaminan dan insentif
rutin |
5 | ||
M-22 | Perlu adanya jaminan hari tua bagi petani | 5 | ||
Low price (HCP-9) | M-23 | Perlu mengontrol distribusi beras dari petani sampai
konsumen |
5 | |
M-24 | Distribusi pangan pokok tidak
dilepas pada mekanisme pasar;. |
5 | ||
M-25 | Pemerintah harus membeli pangan pokok dari petani
dengan harga wajar |
5 |
Sumber: Maman dkk. (2018)
Namun, untuk menentukan aksi mitigasi yang paling tepat, dan yang perlu menjadi program-program prioritas dalam penyuluhan pertanian secara komperehensif dan terpadu, kami mencoba menganalisisnya dengan menggunakan model HOR-2 (Pujawan dan Geraldin,2009).
Untuk menggunakan model ini, langkah pertama yang kami lakukan ialah menghitung total efektivitas masing-masing aksi mitigasi yang telah kami identifikasi, dengan mempertimbangkan agregat potensi risiko konversi lahan (ARPj), serta memperhatikan korelasi aksi mitigasi terhadap peluang kemunculan agen risiko konversi lahan (Ejk).
Selanjutnya, dihitung rasio efektivitas aksi mitigasi terhadap kesulitan (ETDk) dengan membagi skor total efektivitas masing- masing tindakan mitigasi (TEk) dengan derajat kesulitan melakukan tindakan mitigasi (Dk). Proses ini kami visualisasikan dalam Tabel 14 untuk fase pratanam, Tabel 15 untuk tahap budidaya, dan Tabel 16 untuk tahap panen dan pasca panen.
Melalui proses tersebut, yang perlu menjadi prioritas utama dalam mengendalikan konversi lahan pertanian ialah adanya kebijakan agraria di mana Pemerintah seharusnya mengeluarkan peraturan yang mengontrol kenaikan harga lahan pertanian; serta mengatur mekanisme penjualan lahan pertanian subur. Setelah hal ini terselesaikan, perlu peningkatan ketrampilan teknis para petani, dimana penyuluhan pertanian diarahkan pada pembentukan kesiapan mental bertani, serta keterampilan persemaian. Itulah rangkaian mitigasi yang harus dilakukan pada fase pratanam (Tabel 14).
Selanjutnya, pada saat petani melakukan budidaya, untuk mendorong semangat mereka dan mengurangi peluang kekecewaan akibat gagal panen, maka perlu adanya optimalisasi jaminan kerugian akibat serangan hama dan penyakit tanaman. Itulah inti mitigasi pada saat budidaya dan pemeliharaan tanaman. Aspek-aspek teknis dan supporting lainnya ialah: (a) perlunya menyiapkan relawan yang terampil dan bangga bekerja di sektor pertanian padi; (b) peningkatan keterampilan pengendalian hama; (c) optimalisasi penggunaan teknologi tepat guna yang mengurangi pekerjaan fisik; (d) bekerjasama dengan berbagai kalangan membentuk opini bahwa bertani itu terhormat.
Jika petani masih tetap belum puas dengan berbagai aksi mitigasi yang dilakukan dan tetap ingin menjual lahan mereka, maka terdapat mitigasi berikutnya, yakni Pemerintah harus menampung lahan pertanian pangan subur yang dijual oleh pemiliknya (Tabel 15).
Program aksi mitigasi lainnya yang kami temukan pada saat panen & pasca panen ialah: (1) Pemerintah perlu mengontrol distribusi beras dari petani sampai konsumen; (2) Peningkatan bantuan bagi petani; (3) Pemerintah membeli pangan pokok dari petani dengan harga wajar; (4) Distribusi pangan pokok tidak dilepas pada mekanisme pasar; (5) Perlu optimalisasi insentif gagal panen; dan (6) Perlu ada jaminan dan insentif rutin bagi
Jika aksi mitigasi ini masih belum berhasil, maka Pemerintah perlu menyiapkan lahan milik negara sebagai penyedia utama pangan bagi rakyat.
Tabel 14. Proses Penentuan Prioritas Mitigasi Risiko Fase Pratanam
Agenda Risiko Yang Perlu Pengendalian | Kode | Usulan & Identifikasi Tindakan Mitigasi Risiko | |||||||
M-1 | M-2 | M-3 | M-4 | M-5 | M-6 | M-7 | ARPj | ||
Pengaruh Mitigasi terhadap Pengendalian Agen Risiko | |||||||||
Belum berhasil mengembangkan komoditas
penopang padi yang lebih efisien di lahan sempit |
A-4 |
1 |
3 |
1 |
1 |
1 |
1 |
1 |
795 |
Lahan menjadi sebuah komoditas dengan harga sesuai mekanisme pasar |
A-5 |
1 |
1 |
3 |
1 |
9 |
1057 |
||
Belum ada jaminan hidup
bagi petani selama budidaya padi; |
A-6 |
1 |
3 |
9 |
536 |
||||
Belum adanya kontrol terhadap kenaikan harga
lahan yang terus menerus; |
A-7 |
1 |
1 |
1 |
9 |
595 |
|||
Efektivitas Total Tindakan k | 2983 | 2 980 | 1 852 | 795 | 3
966 |
4
055 |
16 999 | ||
Derajat kesulitan
melakukan tindakan k |
5 | 3 | 5 | 5 | 5 | 5 | 5 | ||
Rasio Efektiv terhadap kesulitan | 597 | 993 | 370 | 159 | 793 | 811 | 3 240 | ||
Ranking Prioritas | V | II | VI | VII | IV | III | I |
Sumber: Maman dkk. (2017), modifikasi model HOR-2 Pujawan dan Geraldin (2009)
Tabel 15. Proses Penentuan Prioritas Mitigasi Risiko Fase Budidaya
Kode
Agen Risiko |
Usulan & Identifikasi Mitigasi |
ARPj 7 |
|||||||||
M-8 | M-9 | M-10 | M-11 | M-12 | M-13 | M-14 | M-15 | M-16 | M-1 | ||
Pengaruh Mitigasi terhadap Pengendalian Agen Risiko | |||||||||||
A-8 | 9 | 1 | 1 | 1 | 1 | 1 | 301 | ||||
A-9 | 1 | 9 | 9 | 1 | 287 | ||||||
A-12 | 1 | 1 | 3 | 1 | 1 | 1 | 1 | 276 | |||
A-13 | 1 | 3 | 1 | 1 | 3 | 3 | 9 | 1 | 1 | 251 | |
A-14 | 1 | 3 | 1 | 1 | 9 | 3 | 3 | 1 | 1 | 220 | |
A-15 | 1 | 1 | 1 | 9 | 3 | 9 | 1 | 1 | 1 | 193 | |
A-18 | 1 | 1 | 9 | 3 | 9 | 95 | |||||
TEk | 3
660 |
4,76
6 |
3631 | 1,793 | 4,746 | 2, 856 | 5,233 | 664 | 940 | 193 | |
Dk | 5 | 5 | 5 | 5 | 5 | 5 | 5 | 4 | 4 | 5 | |
ETDk | 732 | 953 | 726 | 359 | 949 | 571 | 1,047 | 166 | 235 | 39 | |
R Priority | IV | II | V | VII | III | VI | I | IX | VIII | X |
Sumber: Maman dkk. (2019), modifikasi model HOR-2 Pujawan dan Geraldin (2009)
Tabel 16. Proses Penentuan Prioritas Mitigasi Risiko Fase Panen & Pascapanen
Sumber: Maman dkk. (2018), modifikasi model HOR-2 Pujawan dan Geraldin (2009)
Senat Guru Besar Yang Mulia, serta hadirin yang terhormat!
Mitigasi untuk mengendalikan konversi lahan pertanian tersebut sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua bagian besar. Pertama, penyedia utama pangan bagi rakyat bukan diserahkan pada keluarga petani, tetapi menjadi tanggung jawab Pemerintah, di mana Pemerintah perlu: (a) optimalisasi lahan milik negara sebagai penyedia utama pangan bagi rakyat; (b) membeli sawah dari rakyat yang dijual oleh pemiliknya; (c) melakukan distribusi dan mengontrol distribusi pangan pokok yang dihasilkan dari lahan milik negara, di mana distribusi itu tidak diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Lahan milik negara itulah yang dijadikan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), bukan lahan milik petani. Untuk itu, perlu dibentuk BUMN yang mengelola lahan milik negara sebagai sentra pangan sekaligus bertugas melakukan distribusi dan mengontrol distribusi pangan. BUMN ini dapat bekerjasama dengan kelompok tani dengan sistem bagi hasil, di mana biaya usaha tani ditanggung BUMN.
Kedua, optimalisasi lahan milik petani. Pemerintah mendorong petani agar tetap mau menggunakan lahan mereka untuk bertani. Hal ini dilakukan dengan berbagai insentif, seperti insentif gagal panen, insentif pajak, peningkatan motivasi untuk bertani, serta peningkatan keterampilan teknis dan manajerial. Namun hal ini bersifat opsional, di mana keluarga petani dapat memanfaatkan lahannya sesuai kepentingan mereka, untuk bertani atau kegiatan lain di luar kegiatan bertani.
Usulan mitigasi ini mirip dengan apa yang dilakukan Nabi Muhamamd SAW setelah Perang Khaibar. Saat beliau memperoleh tanah Khaibar yang subur dari Yahudi, maka beliau jadikan tanah itu sebavgai lahan milik negara, dan menjaga fungsinya sebagai kawasan pertanian pangan. Beliau pun mengelolanya dengan melakukan kerjasama dengan Yahudi sebagai pemilik asal lahan tersebut, dengan skim al- musaqoh, yakni bagi hasil dengan biaya produksi dari Nabi sebagai kepala negara. Beliau pun melakukan distribusi dari hasil produksi pertanian Khaibar secara ketat kepada masyarakat (Al-Muafiri, 2003).
Jadi, sebagai kepala negara, beliau bertanggung jawab menyediakan pangan bagi rakyat. Namun di sisi lain, beliau mendorong individu-individu pemilik lahan pertanian agar menjaga produktivitas lahannya. Beliau menegaskan, “Barangsiapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya dia menanaminya. Jika enggan menanaminya, maka berikanlah kepada saudaranya. Dan jika dia enggan memberikan kepada saudaranya, maka tinggalkanlah tanah itu.” (‘Ajjaj al-Karmi, 2012)
Demikianlah, untuk mengendalikan laju konveresi lahan produktif dan untuk mewujudkan swasembada pangan secara pelan tapi pasti, kita perlu mencontoh dan mengimplementasikan manajemen lahan dan pertanian yang dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW.
Senat Guru Besar dan Hadirin Yang Terhormat,
Dengan pengukuhan Guru Besar, saya berhutang budi dan ingin menyampaikan terima kasih kepada isteri saya, Ir. Hj. Widisasih Revolusiati sebagai pendorong utama keberhasilan studi saya dan sebagai pendamping setia sealama saya meniti karir sebagai dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Juga kepada anak-anak saya, Syifa Qurrota A’yunina dan Ahmad Salman Izuddin sebagai penyejuk hati di kala penat dan penghibur di tengah-tengah kesibukan keseharian.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada:
- Pimpinan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mendukung berbagai penelitian yang saya lakukan. Dari tahun 2015-2019 pimpinan UIN Jakarta selalu mengabulkan usulan dana untuk melakukan penelitian dan konferens internasional.
- Mitra penelitian saya, khususnya kepada Prof.Dr. Ferry Jie di Universitas RMIT (Royal Melbourne Institut for Science and Technology), yang kemudian pindah tugas ke Edith Cowan University, Perth, Western Ausralia; dan kepada Ir. Nyndiantoro, MSP dari Institut Pertanian Bogor, yang secara serial melakukan penelitian dan melakukan publikasi internasional.
- Para reviewer saya, khususnya kepada Prof. Dr. Jonathan A.J. Wilson di Emerald Group Publisher yang dengan telaten mereviw research paper saya dan memberikan sejumlah artikel untuk penyempurnaan paper saya, dan akhirnya beliau merekomendasikan untuk menerbitkannya di Emerald Group, sehingga melancarkan saya untuk mengajukan guru besar. Sebagai seorang muslim, semoga amal sholih beliau diterima oleh Allah SWT.
- Para peer-reviewer, khususnya kepada Bunda Prof.Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis, rekan sejawat Prof.Dr.Ir. Pudji Muljono, MSi dan Prof.Dr. Ir. Sumardjo di Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, yang dengan telaten membaca dan menilai paper-paper saya sebagai syarat pengajuan Guru Besar.
- Para dosen saya di Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Indonesia dan Program Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor, yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.
- Rekan-rekan dosen di Program Magister Agribisnis dan Prodi Agribisnis, seperti Dr.Ir. Iskandar Andi Nuhung, Dr.Ir. Ahmad Riyadi Wastra, Dr. Ir. Achmad Tjahja Nugraha, Dr. Ir. Lilis Imamah Ichdayati, Dr. Ir. Elpawati, Dr.Ir. Edmon Daris, dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu Khusus saya berterima kasih kepada Dr.Ir. Ahmad Riyadi Wastra yang sudah bersedia membaca dan memberikan masukan pada naskah pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar.
- Pada guru dan asatidz di Madrasah Tasnawiyah Pondok Pesangren Darul Mutaallimin Cikaret, Sukaraja, Sukabumi, di Madrasah Aliyah Negeri Bogor dan di Pesantren PUI Sirna Bakti, Bogor, Jawa Barat.
- Berbagai pihak yang sudah membantu penelitian saya, yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Akhirnya saya ingin menutup pidato ini dengan ucapan billahi taufiq wal hidayah,
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ajjaj al-Karmi, H.A., 2012. Al-Idaroh fi ishril Rasulillah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Indonesian edition, translated by Utsman Zahid as-Sidany, Bogor: Pustaka Thoriqul Izzah.
Apriyanti, Liana, 2018. “Respons Petani Terhadap Rencana Pembentukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Skripsi Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.”
Al-Muafiri, Abu Muhammad Abu Al-Malik bin Hisyam, 2003. Siroh Nabawiyyah Ibnu Hisyam, Indonesian edition, translated by Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah
Asmara, A., 2011. Pendapatan Petan Setelah Konversi Lahan: Studi Kasus Kelurahan Mekarwangi, Kota Bogor. Skripsi Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif HIdayatullah Jakarta.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), 2013. Proyek Penduduk Indonesia 2010-20135. BAPPENAS dan BPS, Jakarta, Indonesia.
Barokah, U., Supardi, S., and Handayani, S.M., 2012. “Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani di Kabupaten Karanganyar. ” Solo: Research Report, Faculty of Agriculture, Universitas Negeri Sebelas Maret
CNN Indonesia, 25/10/18
Dwipradnyana, I Made Mahadi, 2014. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Petani: Studi Kasus Subak Jadi, Kediri, Tabanan,” Denpasar, Bali: Tesis Progrma Magister Agribisnis Universitas Udayana.
FAO, IFAD and WFP, 2014., the State of Food Insecurity in the World: Strengthening the Enabling Environment for Food Security and Nutrition. Rome: FAO;
Handari, M.F.A.W., 2012. Implementasi Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Magelang. Semarang: Thesis of Post Graduate Program, Universitas Diponegoro
Irawan, Bambang, 2005. “Konversi Lahan: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatan, dan Faktor Yang Menentukan,” Forum Penelitian Agro-Ekonomi, Vol 23 No.1.
Maman, Ujang, Ahmad Riyadi Wastra dan Eny Dwiningsih, 2017b. “Strategic Planning to Control Land Conversion Risk in Paddy Pre-Cultivation,” International Business Management Vol. 11(11): 1964-1973
Maman, Ujang, Fahriany, Yuni Sugiarti, dan Ferry Jie., 2017c. “Determinant Factors Toward Staple Food Diversification: Evidence from Indonesia Context,” The Social Sciences Vol. 12(9): 1724-1730
Maman, Ujang, Kusmana, and Supiandi, Dudi, 2017a, “Al- Musaqoh and Sharia Agribusiness System: An Alternative Way to Meet Food Self-Sufficiency in Contemporary Indonesia,” HUNAFA: Jurnal Studi Islamika, Vol. 12, Issue 2, pp. 189-231.
Maman,Ujang, Nindyantoro, dan Yuni Sugiarti, 2019. “Agricultural Extension Planning Based on Risk Mitigation: The Case of Land Conversion in Indonesia,” International Journal of Engineering & Technology Vo. 8(1.10): 49-54
Maman, Ujang, Nunuk Adiarni, and Fachriany, 2018. “Mitigation of Land Conversion Risk in Post-Harvest Phase to Optimize Staple Food Availability,” Journal of Engineering and Applied Sciences Vol. 13(8):2003- 2012
Pujawan, I. N and Geraldin, H. G., 2009. House of Risk: A Model For Proactive Supply Chain Risk Management. Business Process Management Journal, 15 (6): 953-967
The Economist, 2017, Global Food Security Index 2017: Measuring Food Security And the Impact of Resource Risks, A report from the economist intelligence unit.
The Economist, 2018, Global Food Security Index 2018: Building Resilience in the face of Food Security Risk, a report from the economist intelligence unit