Gallery

Pengukuhan Guru Besar

Luasan sawah di Indonesia semakin berkurang, padahal jumlah penduduk semakin bertambah. Dikhawatirkan hal ini akan menimbulkan krisis pangan di Indonesia, atau setidaknya dikhawatirkan Indonesia akan tergantung pada pangan import. Jika hal ini terjadi, ketersediaan pangan di Indonesia akan sangat rentan terhadap kebijakan negara sumber pangan. Demikian inti podato pengukuhan Prof. Dr. U. Maman Kh., S.S.,M.Si Ahad, 8 September 2019 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perilaku dan kondisi petani yang mengarah pada alih fungsi lahan pertanian produktif merupakan risiko. Pidato pengukuhan ini mengidentifikasi risiko-risiko tersebut, serta agen (penyebab) terjadinya risiko. Prof. Maman mengidentifikasi agen-agen risiko utama yang mendorong konversi lahan. Agen risiko utama inilah yang perlu dimitigasi.

Prof. Maman selanjutnya mengidentifikasi tindakan-tindakan mitigasi yang perlu menjadi prioritas. Mitigasi untuk mengendalikan konversi lahan pertanian tersebut pada intinya terbagi menjadi dua bagian besar.  Pertama, penyedia utama pangan bagi rakyat bukan diserahkan pada keluarga petani, tetapi menjadi tanggung jawab Pemerintah, di mana Pemerintah perlu: (a) optimalisasi lahan milik negara sebagai penyedia utama pangan bagi rakyat; (b) membeli sawah dari rakyat yang dijual oleh pemiliknya; (c) melakukan distribusi dan mengontrol distribusi pangan pokok yang dihasilkan dari lahan milik negara, di mana distribusi itu tidak diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Lahan milik negara itulah yang dijadikan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), bukan lahan milik petani. Untuk itu, perlu dibentuk BUMN yang mengelola lahan milik negara sebagai sentra pangan sekaligus bertugas melakukan distribusi dan mengontrol distribusi pangan. BUMN ini dapat bekerjasama dengan kelompok tani dengan sistem bagi hasil, di mana biaya usaha tani ditanggung BUMN.

Kedua, optimalisasi lahan milik petani. Pemerintah mendorong petani agar tetap mau menggunakan lahan mereka untuk bertani. Hal ini dilakukan dengan berbagai insentif, seperti insentif gagal panen, insentif pajak, peningkatan motivasi untuk bertani, serta peningkatan keterampilan teknis dan manajerial. Namun hal ini bersifat opsional, di mana keluarga petani dapat memanfaatkan lahannya sesuai kepentingan mereka, untuk bertani atau kegiatan lain di luar kegiatan bertani.

Usulan mitigasi ini mirip dengan apa yang dilakukan Nabi Muhamamd SAW setelah Perang Khaibar. Saat beliau memperoleh tanah Khaibar yang subur dari Yahudi, maka beliau jadikan tanah itu sebavgai lahan milik negara, dan menjaga fungsinya sebagai kawasan pertanian pangan. Beliau pun mengelolanya dengan melakukan kerjasama dengan Yahudi sebagai pemilik asal lahan tersebut, dengan skim al-musaqoh, yakni bagi hasil dengan biaya produksi dari Nabi sebagai kepala negara. Beliau pun melakukan distribusi dari hasil produksi pertanian Khaibar secara ketat kepada masyarakat (Al-Muafiri, 2003).

Jadi, sebagai kepala negara, beliau bertanggung jawab menyediakan pangan bagi rakyat. Namun di sisi lain, beliau mendorong individu-individu pemilik lahan pertanian agar menjaga produktivitas lahannya. Beliau menegaskan, “Barangsiapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya dia menanaminya. Jika enggan menanaminya, maka berikanlah kepada saudaranya. Dan jika dia enggan memberikan kepada saudaranya, maka tinggalkanlah tanah itu.” (‘Ajjaj al-Karmi, 2012)

Related Link

Books & Journal

Mengendalikan Laju Konversi Lahan Pertanian Pangan Produktif Menuju Swasembada Pangan

Paper presentation at Pajajaran University, Bandung in seminar and workshop conducted by Communication Forum for Indonesian Agricultural University (CFIAU), 23-24 September 2019. The paper presented was entitled "Determining Priority of Agricultural Extension Planning in the Importance Performance Analysis Approach: The Case of Organic Rice Farming Pre-cultivation Tasikmalaya, West Java. In summary, the paper presented explains that the proper planning in agricultural extension is a necessity. The Importance performance analysis (IPA) approach - which is often used to analyze customer satisfaction - can be used to determine the priority of planning hierarchically in extension program. Starting with the identification of the attributes of organic rice farming in pre-cultivation, then identifying farmers 'perceptions about the importance of these attributes, farmers' performance in their implementation, gaps and conformity between expectations and performance, and finally reach to map organic rice farming attributes presented in a Cartesian diagram is as a hierarchical agricultural extension planning. Based on 107 samples drawn by random and proportional technique, and the size of the sample is determined by Slovon formula with an error probability of 7 percent, there are three attributes of organic rice farming that need to be the main priority in extension, namely: a clear boundary between organic and non-organic land; drying the seeds up to 12-14% moisture content; and seeds planted must be 7-15 days old. These three attributes have a high level of importance, but still in a low performance. Therefore, this attributes should be a prioritized action.

Paper presentation at Pajajaran University, Bandung in seminar and workshop conducted by Communication Forum for Indonesian Agricultural University (CFIAU), 23-24 September 2019. The paper presented was entitled “Determining Priority of Agricultural Extension Planning in the Importance Performance Analysis Approach: The Case of Organic Rice Farming Pre-cultivation Tasikmalaya, West Java.

In summary, the paper presented explains that the proper planning in agricultural extension is a necessity. The Importance performance analysis (IPA) approach – which is often used to analyze customer satisfaction – can be used to determine the priority of planning hierarchically in extension program. Starting with the identification of the attributes of organic rice farming in pre-cultivation, then identifying farmers ‘perceptions about the importance of these attributes, farmers’ performance in their implementation, gaps and conformity between expectations and performance, and finally reach to map organic rice farming attributes presented in a Cartesian diagram is as a hierarchical agricultural extension planning. Based on 107 samples drawn by random and proportional technique, and the size of the sample is determined by Slovon formula with an error probability of 7 percent, there are three attributes of organic rice farming that need to be the main priority in extension, namely: a clear boundary between organic and non-organic land; drying the seeds up to 12-14% moisture content; and seeds planted must be 7-15 days old. These three attributes have a high level of importance, but still in a low performance. Therefore, this attributes should be a prioritized action.

UB MALANG-1

Visiting the head of the Senate Professor of the State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta  and the Head of the Senate Professor of the University of Brawijaya, Malang, Indonesia, discussed the preparations for changing the UIN Jakarta into a Legal Entity State University.