Perlindungan Lahan Pertanian Pangan yang Tidak Efektif

Sawah

Pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia bersama DPR telah mensahkan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) . UU ini dimaksudkan untuk menahan alih fungsi lahan pertanian pangan produktif, yang akan mengancam ketahanan pangan nasional. UU ini mengamatkan agar setiap Pemerintah Daerah di Indonesia, dalam merencanakan tata ruang wilayah, harus mengalokasikan lahan bagi pertanian pangan yang tidak boleh dialihfungsikan. Lahan inilah yang disebut dengan “lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).” Jika Pemda sudah menetapkan LP2B, maka lahan tersebut dilindungi dan dilarang alih fungsi, sesuai Pasal 44 Ayat 1 UU tersebut. Pihak yang berani melakukan alih fungsi LP2B, akan dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan didenda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

UU ini seakan-akan menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam melindungi dan menjaga lahan pertanian pangan untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Namun secara faktual UU ini tidak efektif. Pemda tampak kesulitan untuk menetapkan lahan yang akan dijadikan LP2B akibat banyak kebutuhan – atau bahkan rebutan – dari sektor-sektor pembangunan lainnya terhadp lahan, seperti kebutuhan sektor industri, pertambangan, perumahan, perkantoran, dan juga infrastruktur. Petani sendiri cenderung menolak pembentukan LP2B, terutama karena harga lahan yang terus meninggi akibat banyaknya permintaan terhadap lahan. Jika lahan mereka ditetapkan sebagai LP2B – dan tidak boleh dialih fungsikan – hal ini akan menimbulkan kerugian ekonomi bagi petani, terutama  bagi petani yang lahan mereka berada di kawasan strategis.

Sebagai gambaran, penelitian yang kami lakukan di Kecamatan Bangau Dua, Indramayu, Jawa Barat  – yang lahan mereka potensial dijadikan LP2B – menunjukkan bahwa petani cenderung menolak larangan alih fungsi lahan. Uji X2 (Chi square) terhadap 100 orang sampel yang ditarik secara acak proporsional dari delapan desa di Kecamatan Bangau Dua menemukan bahwa karakteristik petani cenderung memperkuat pandangan negative mereka terhadap LP2B. Artinya, mereka para petani cenderung menolak pembentukan LP2B. Peubah yang berhubungan dengan pandangan positif terhadap rencana pemebntukan LP2B hanyalah tingkat pendidikan dan peekrjaan. Semakin tinggi tingkat pendiddikan petani, cenderung menguat penolakan mereka terhadap LP2B; sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan petani cenderung menerima kebijakan LP2B. Hal ini tidak mengherankan karena semakin tinggi tingkat pendidikan, petani melihat adanya peluang pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan produktif di sektor non-pertanian. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, petani tidak melihat adanya peluang pemanfaatan lahan untuk kegiatan di luar pertanian.  Hal ini sejalan dengan penemuan lain bahwa adanya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian memperkuat penolakan mereka terhadap LP2B, karena mereka dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan-kegiatan di sektor non-pertanian. Sebaliknya, petani yang tidak melihat adanya peluang pekerjaan di luar sektor pertanian, mereka cenderung menerima LP2B (Table 1).

 

Tabel 1. Hubungan Peubah Karakteristik Petani dengan Kecenderungan Negatif

(Penolakan) terhadap LP2B

 

No Peubah Chi Square (X2) Nilai p
1 Umur 0,022 0,881
2 Jumlah anggota rumah tangga 0,603 0,437
3 Lama pengalaman bertani 0,108 0,743
4 Tingkat pendidikan 9,189 0,010**
5 Luas lahan yang dimiliki 2,070 0,355
6 Pendapatan usahatani padi 3,101 0,212
7 Adanya pekerjaan lain selain bertani 3,988 0,046**
8 Kepuasan terhadap bantuan benih 0,533 0,465

Keterangan : **Sangat Signifikan

Sumber       : Diolah dari Apriyanti (2018)

Demikianlah, tersedianya alternatif pekerjaan mendorong  petani untuk meninggalkan sektor pertanian. Para petani Subak Jadi, Tabanan, Bali memiliki kecenderungan kuat untuk melakukan alih fungsi lahan, bahkan cenderung menjual lahan. Lebih dari 70% petani Subak Jadi setuju dan sangat setuju bahwa konvesi lahan dapat memecahkan persoalan ekonomi petani; bahwa lahan pertanian merupakan komoditas untuk diperjualbelikan; dan bahwa lahan pertanian tidak mampu menghasilkan produksi yang diharapkan. Sejalan dengan kecenderungan ini, sebanyak 57 persen petani sampel setuju dan sangat setuju bahwa lahan pertanian lebih bermanfaat untuk perumahan (Table 2).

Industrialisasi dan  alih fungsi lahan cenderung berimbas pada para petani di daerah-daerah sekitarnya, sekalipun lahan mereka masih utuh.  Para pemuda yang sudah berpendidikan di atas SMA – atau yang setingkat – atau lebih tinggi di Kec. Gekbrong dan Warung Kondang , Kabupaten Cianjur berada pada zona non-komitmen terhadap lahan mereka; padahal orang tua mereka adalah para petani pemilik lahan, dan para pemuda tersebut akan menjadi pewaris lahan pertanian produktif. Lebih jelasnya, dari 100 orang pemuda sampel yang ditarik dengan teknik snow ball dari 11 desa di Dua Kecamatan tersebut, lebih dari 60%  berada pada zona moderat (non-komitment) terhadap lahan  mereka untuk melanjutkan usaha tani atau menjual lahan mereka. Padahal mereka belum terkena proses industrialisasi, namun mereka sudah mengetahui bahwa lahan di sekitar mereka sudah banyak yang dialih fungsikan (Maman dkk., 2018).

Tabel 2. Orientasi Petani terhadap Lahan Pertanian

No. Indikator SS S TS STS
Res % Res % Res % Res %
1 Konvesi lahan dapat memecahkan persoalan ekonomi petani 17 15,18 68 60,71 25 22,32 1 1,79
2 Lahan pertanian merupakan komoditas ekonomi 27 24,11 58 51,79 21 18,75 6 5,36
3 Lahan tidak mampu menghasilkan produksi yang diharapkan 9 8,04 86 76,79 16 14,29 1 0,89
4 Lahan untuk perumahan lebih bermanfaat 16 4,29 60 53,57 31 27,68 5 4,46

Sumber: Diolah dari Dwipradnyana, 2014, hal. 85

 

Orientasi petani sudah berubah, tidak lagi bersifat subsistence, hanya untuk mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarga, melainkan lebih mengedepankan rasionalitas ekonomi dan keuntungan. Dalam kondisi demikian, pendapatan dari sektor pertanian (padi) sangat kecil, di bawah rasionalitas ekonomi. Kecenderungan petani beralih pada sektor-sektor ekonomi lain – khususnya bagi mereka yang memiliki peluang bekerja di sektor non-pertanian – sangat reasonable. Berdasarkan ratio nilai sewa yang diperoleh petani dengan mereka yang bergerak di luar sektor pertanian, terdapat perbedaan yang sangat tajam. Pada tahun 1996 perbedaan tersebut 1: 622 untuk perumahan; 1:500 untuk kawasan industri; 1:14 untuk wilayah pariwisata (Irawan, 2005).  Jika perbandingan dilakukan sekarang, kemungkinan perbedaan akan semakin tajam, dan semakin menurunkan minat bertani.

Secara factual, petani yang berani melakukan konversi lahan pertanian, mereka memperoleh penghasilan lebih besar walaupun bersifat sementara.  Penghasilan petani di Desa Jaten, Karang Anyar,  Jawa Tengah bertambah sebanyak Rp 2,291 juta per tahun, dan bertambah Rp 378 ribu per tahun bagi petani di Desa Jumantomo, Karang Anyar, setelah mereka melakukan alih fungsi lahan. Penghasilan petani di luar sektor pertanian setelah alih fungsi lahan secara total ialah Rp 8,568 per tahun di Desa Jaten, dan Rp 1,52 juta di Desa Jumantomo (Barokah, dkk., 2012).

Hasil penelitian Asmara (2011) di Desa Mekarwangi, Kota Bogor, Jawa Barat  menunjukkan kecenderungan yang sama. Dengan menggunakan rumus “Future Value Formula,” untuk membandingkan penghasilan petani di tahun 2000 sebelum konvesi lahan dan di tahun 2010 setelah konversi lahan dan melakukan bisnis di sektor non-pertanian, 50% petani sampel memperoleh kenaikan penghasilan sebanyak 100% per tahun.

Tambahan lagi, usaha di sektor pertanian berpeluang menghadapi berbagai risiko, seperti gagal panen akibat serangan hama & penyakit, kekeringan, kebanjiran, atau bencana alam lainnya. Selain itu, usaha pertanian merupakan kerja kasar, kotor, dan perlu waktu lama untuk menghasilkan uang. Karena itu pula, sektor pertanian tidak menarik, tetapi sangat dibutuhkan. Untuk itu, perlu adanya mitigasi sistematis untuk menyelamatkan sektor pertanian. LP2B harus dibentuk dan menguntungkan semua pihak, termasuk saat terjadi kenaikan harga lahan yang sangat tinggi.***

 

Daftar Rujukan

Asmara, Andi. “Pendapatan Petan Setelah Konversi Lahan: Studi Kasus Kelurahan Mekarwangi, Kota Bogor.” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Apriyanti, Liana. “Respons Petani Terhadap Rencana Pembentukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kecamatan Bangodua Kabupaten Indramayu,” Skripsi Prodi Agribisnis FST UIN Jakarta, 2018.

Barakah, Ummu. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Di Kabupaten Karanganyar. Solo, 2012.

Dwipradnyana, I Made Mahadi. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Dan Pengaruhnya Bagi Kesejahteraan Petani: Studi Kasus Di Subak Jadi, Kediri, Tabanan.” Udayana University, 2014.

Irawan, Bambang. “Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, Dan Faktor Determinan.” Forum Penelitian Agro Ekonomi 23, No. 1 (2005): 1–18.

Maman, Ujang  dkk.  “From Single to Dual System: Initiating the Model of Wet Rice Field Management to Optimize Staple Food Availability, Journal of Engineering and Applied Science, Vol 13 No. 21 (2018): 9259-9268

Recommended For You