Memperingati Hari Tanah Sedunia: Memelihara Kedaulatan Atas Lahan dalam Pandangan Islam

hari-tanah-sedunia

Dalam peringatan hari tanah sedunia, 5 Desember 2020 yang lalu, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) melakukan serangkaian kegiatan dengan tema “Keep soil alive, protect soil biodiversity” (pertahankan tanah tetap hidup, lindungi keanekaragaman hayati tanah). Kepala BBSDLP Husnain, berharap tema tersebut dapat meningkatkan kepedulian terhadap pentingnya menjaga ekosistem yang sehat serta menyadari tingginya tantangan dalam pengelolaan lahan yang bisa mengurangi keanekaragaman hayati tanah. “Kita ingin bisa menjadi agen-agen untuk mempromosikan kesadaran akan pentingnya tanah dalam segala aspek sehingga bisa mendorong berbagai pihak baik pemerintah, organisasi, perguruan tinggi, mahasiswa, masyarakat umum, komunitas dan individu untuk juga membantu mempromosikan gerakan kesadaran akan tanah ini,” kata Husnain (SuaraTani. com, 3 Desember 20020).

Tema tentang pemeliharaan keanekaragaman hayati sangat penting dan menarik, karena kita sekarang ini sedang mengalami persoalan deforestasi, alih fungsi lahan, dan lemahnya daya dukung lahan bagi swasembada pangan (The Economist, 2018). Namun yang lebih penting lagi ialah: bagaimana memelihara kedaulatan atas lahan, baik lahan pertanian pangan, perkebunan, atau hutan? Karena itu, tema tersebut kita angkat dalam diskusi kali ini. Khususnya, kita ingin melihatnya dari perspektif Islam. “Kedaulatan” dalam hal ini kita artikan sebagai kontrol manajerial terhadap lahan secara mandiri tapa campur tangan atau kepentingan pihak lain, baik secara langsung atau tidak langsung.  Kita berharap agar lahan itu tetap fungsional bagi kesejahteraan warga negara. Sebaliknya, kita tidak berharap kontrol terhadap lahan itu berada di bawah segelintir orang atau sekelompok orang. Kita juga tidak berharap kontrol terhadap lahan itu berada di bawah para pemodal besar, apalagi jika keberadaan mereka di bawah bayang-bayang atau perpanjangan negara asing. Kita menyadari sepenuhnya bahwa kedaulatan sebuah negara itu ada selama negara tersebut memiliki kontrol/kekuasaan sepenuhnya terhadap wilayah darat, laut, dan udara pada batas-batas yang menjadi kewenangannya. Jika wilayah daratan – yang sebagiannya berupa lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan – berada di bawah kontrol pihak lain, maka dikhawatirkan negara tersebut secara gradual sedang “mengamputasi” kedaulatannya.

 

Melindungi Lahan Yang Tidak Melindungi

Atas hal demikian, kita perlu mempelajari beberapa undang-undang yang terkait dengan perlindungan lahan. Pada tahun 2009 yang lalu Pemerintah bersama DPR telah mensahkan UU No. 41/2009  tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (PLP2B). UU ini mengamanatkan kepada seluruh Pemda di Indonesia agar dalam menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW) mengalokasikan lahan sebagai sentra produksi pangan yang tidak boleh dialihfungsikan; dan lahan itu disebut dengan istilah “lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B)”. Petani yang berani mengalihfungsikan LP2B yang sudah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah, petani tersebut akan dipenjara lima tahun atau membayar denda sebanyak-banyaknya satu miliar rupiah (Pasal 72).

Mengacu pada Pasal 5 UU tersebut, lahan pertanian yang bisa ditetapkan sebagai LP2B ialah lahan beririgasi teknis, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non-pasang surut (lebak)  dan/atau lahan tidak beririgasi. Selain itu, terkait dengan perluasan potensi lahan yang dapat dijadikan LP2B, Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengalihfungsikan lahan non-pertanian menjadi lahan pertanian pangan (Pasal 29 Ayat 1). Yang dimaksud dengan lahan non-pertanian dalam hal ini ialah tanah terlantar dan tanah bekas kawasan hutan yang belum diberikan hak atas tanah tersebut sesuai perundang-undangan (Pasal 29 Ayat 3).

Demikianlah, UU ini menggambarkan semangat Pemerintah untuk melindungi lahan pertanian pangan, mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup bagi warga negara, serta mewujudkan kemandirian pangan. Sejalan dengan itu, UU ini memberikan legitimasi untuk mencetak sawah baru yang berasal dari lahan bekas HPH (hak pengusahaan hutan) atau lahan potensial lainnya seperti lahan rawa pasang surut atau non-pasang surut. Namun yang perlu menjadi perhatian dalam hal ini ialah bahwa lahan sawah beririgasi teknis atau non-irigasi teknis adalah sawah milik individu petani yang sudah mereka miliki secara turun temurun sejak berabad-abad yang lalu. Sejarah sawah di Indonesia – khususnya di Jawa — memang berasal dari upaya-upaya yang dilakukan oleh individu membuka hutan dan menjadikannya sebagai sawah produktif. Dalam ketentuan tradisional masyarakat Jawa ialah bahwa individu-individu yang membuka hutan yang belum ada pemiliknya, maka individu tersebut berhak atas sawah tersebut dan dapat diwariskan kepada keluarganya, selama keluarga petani dan keturunannya mampu menjaga produktivitas lahan tersebut. Jika individu itu tidak mampu lagi menjaga produktivitas lahan dan membiarkan lahan itu terlantar, maka hak kepemilikan sawah itu beralih menjadi milik komunal desa. Hal ini terbukti dari survai yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda selama dua tahun, antara tahun 1868-1869 (Kano, 2008).

Karena itu, UU ini sebenarnya berusaha menjaga sustainabilitas lahan pertanian pangan dengan menekan petani kecil sebagai pemilik lahan, yakni memaksa mereka agar tetap memfungsikan lahannya untuk kegiatan bertani. Dengan perkataan lain, UU ini telah mengambil hak kebebasan individual petani dalam mengelola lahan sesuai kepentingan mereka. Tidak mengherankan, karenanya, banyak petani yang menolak rencana pembentukan LP2B, terutama petani yang berpendidikan tinggi dan petani yang melihat adanya peluang pemanfaatan lahan sawah untuk kegiatan-kegiatan non-pertanian yang lebih menguntungkan (Afriyanti, 2018). Namun di sisi lain, UU LP2B juga menyebutkan bahwa pelaku-pelaku agribisnis yang dapat mengelola dan mengembangkan LP2B sebagai sentra pangan,  ialah masyarakat atau perusahaan yang kegiatan pokoknya di bidang agribisnis tanaman pangan, baik berbentuk koperasi atau perusahaan inti-plasma (Pasal 27).

Pemerintah — atas dasar UU tersebut — memiliki legitimasi untuk menyediakan hutan yang akan dibuka untuk sentra pangan, serta mengundang perusahaan swasta untuk bergerak di bidang produksi pangan. Pemerintah, antara lain, telah membentuk Program MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) yang kemudian berubah menjadi MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) dengan rencana membuka hutan lebih dari sejuta hektar untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Jenis komoditas yang akan dikembangkan di Bumi Cendrawasih itu ialah padi, jagung, kedelai, kacang tanah, sagu, ubi, sayur dan buah-buahan (mangga, jeruk, pisang). Program ini sebenarnya sudah dirintis sejak 2008, namun dengan pengesahan UUPL2B, program ini menjadi lebih legitimate. MIFEE direncanakan akan melibatkan 36 investor swasta. Melalui PP No 26/2008, Perpres 5/2008, yang dikembangkan dengan PP No. 18/2010, MIFEEE merencanakan akan membuka dan mengembangkan 1,23 juta ha hutan (DEMA Pertanian UGM, Mei 28, 2016).

Demikianlah, UUPL2B dikhawatirkan cenderung menekan petani agar tetap memfungsikan lahan mereka untuk kegiatan bertani. Namun di sisi lain, undang-undang ini menjadi legitimator bagi penyerahan kontrol lahan perkebunan dan hutan kepada berbagai perusahaan swasta. DEMA Pertanian UGM (2016) mengingatkan agar MIFEE jangan mengulangi kesalahan program “gambut seribu hektar” yang hanya menjadi alasan untuk penebangan hutan, di mana kita kehilangan kayu sebanyak 56 juta m3, sedangkan sawahnya tidak terealisasi. Namun yang perlu kita perhatikan  masih memiliki rambu-rambu bahwa perusahaan yang menjadi operator LP2B mayoritas sahamnya harus milik warga negara Indonesia (Pasal 27). Selain itu, jika perusahaan ini mengalihkan fungsi lahan pada kegiatan non-pertanian, akan mendapat kurungan penjara tujuh tahun atau denda paling sedikit dua miliar dan paling banyak tujuh miliar rupiah (Pasal 74). Hanya saja, justru dengan adanya rambu-rambu ini, agaknya UU ini dianggap kurang bersahabat dengan para investor.

 

Lepasnya Perlindungan Lahan

Keberadaan UU LP2B sejak tahun 2009 ternyata tidak bepengaruh signifikan bagi upaya menahan laju alih fungsi sawah. Sebagaimana kita ketahui, sejak 2003 sampai 2013, Indonesia kehilangan lebih dari 50 persen sawah, dari 16 jutaan hektar di tahun 2003 menjadi 8 jutaan hektar di tahun 2013; bahkan sawah yang tersisa sekarang ini hanya 7,4 jutaan hektar, termasuk hasil program cetak sawah baru oleh Kementan. Selain itu, LP2B juga belum terbentuk di sejumlah daerah di Indonesia, akibat adanya berbagai kepentingan untuk alih fungsi sawah menjadi berbagai peruntukan lainnya. Laju alih fungsi lahan diperkirakan akan terus berlanjut di berbagai daerah.

Karena itu, dengan adanya semangat untuk mewujudkan swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya  Pemerintah dan DPR telah mensahkan UU No. 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Pengesahan dan pemberlakuan UU ini dilakukan pada tanggal yang sama, yakni 18 Oktober 2019. UU  ini pada intinya tidak berbeda dengan UU PL2B, yakni pengaturan dan pengendalian alih fungsi lahan sawah.

Secara lebih rinci UU ini menegaskan larangan alih fungsi bagi lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan budidaya pertanian (Pasal 19 Ayat 1). Namun dalam hal untuk kepentingan umum, lahan budidaya pertanian dapat dialihfungsikan (Pasal 19 Ayat 2) dengan beberapa syarat bahwa sebelum dialihfungsikan perlu: (a) dilakukan kajian strategis; (b) disusun rencana alih fungsi lahan; (c) dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan (d) disediakan lahan pengganti terhadap Lahan budi daya Pertanian yang alih fungsi (Pasal 19 Ayat 3). Kebolehan alih fungsi lahan tersebut dikecualikan bagi lahan pertanian beririgasi teknis (Pasal 19 Ayat 4). Artinya, UU ini melarang alih fungsi sawah yang beririgasi teknis, seperti sawah di Bekasi yang diairi dari Bendungan Jati Luhur.

Namun demikian UU No. 22/2019 – khususnya yang menyangkut larangan alih fungsi lahan –, hanya berumur satu tahun satu bulan dan dua hari, yakni berakhir ketika disahkan UU Cipta Kerja – yang sering disebut UU Omnibuslaw – pada tanggal 2 November 2020. Jika UU LP2B dianggap kurang “ramah” terhadap para investor, maka keberadaan UU No. 22/2019 tentu saja dianggap sebagai batu sandungan bagi investasi yang memerlukan lahan.

Larangan alih fungsi lahan bagi sawah beririgasi teknis merupakan hambatan yang signifikan bagi kegiatan investasi. Demikian halnya keharusan mencari lahan pengganti bagi lahan budi daya pertanian yang dialihfungsikan dianggap sebagai sesuatu yang sangat menyulitkan, dan hampir mustahil bisa dilakukan. Maka, yang menjadi pertanyaan ialah: apakah pemerintah masih memberikan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan atau menyerahkan kontrol lahan kepada para investor? Untuk itu, kita perlu memperhatikan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sering disebut-sebut bahwa UU tersebut memberikan “karpet merah” kepada para investor dari pada melindungi lahan pertanian.

UU Ciptaker telah mengubah Pasal 19 UU No. 22/2019 mengenai larangan alih fungsi lahan budidaya pertanian. Lebih jelasnya, berdasarkan UU Ciptaker, jual beli lahan antara investor dengan pemilik lahan diperbolehkan secara legal. Ketentuan tentang kebolehan jual beli lahan yang masuk kategori lahan budidaya pertanian memang sudah tercantum dalam Pasal 19 UU No. 22/2019, dan ketentuan ini diadopsi dalam UU Ciptaker. Artinya, para investor dapat membeli lahan dari para pemilik sesuai harga kesepakatan. Namun keharusan mencari lahan pengganti bagi lahan budidaya pertanian yang dialihfungsikan – yang tercantum dalam Pasal 19 UU No. 22/2019 — dianulir dalam UU Cipta Kerja. Demikian halnya larangan alih fungsi bagi lahan budidaya pertanian beririgasi teknis, juga ditiadakan. Artinya, para investor diperbolehkan membeli lahan dari para pemilik, kemudian boleh mengalihfungsikannya sesuai kepentingan mereka, sekalipun sawah tersebut beririgasi teknis; dan para investor tidak diwajibkan mencari lahan pengganti. Dalam kaitan dengan alih fungsi sawah beririgasi teknis, para investor hanya diwajibkan memelihara infrastruktur irigasi yang sudah terbentuk. Hal ini berarti infrastruktur irigasi yang semula diperuntukkan bagi pengairan sawah, setelah sawah itu alih fungsi dapat digunakan untuk pengairan perumahan, perkantoran, atau industri.

Pendek kata, dengan pengesahan UU Ciptaker ini, kontrol manajerial dari Pemerintah terhadap lahan berkurang sangat signifikan. Sebaliknya, kontrol terhadap lahan cenderung berada di tangan para investor. UU Ciptaker ini tentunya sangat “bersahabat” dengan para pemilik modal.

Memang, UULP2B (UU No. 41/2009)  tidak termasuk yang direvisi dalam UU Cipta Kerja. Artinya, keberadaan UU PL2B masih tetap utuh. Namun, tidak memiliki arti signifikan karena UU senada yakni UU No. 22/2019 telah direvisi. Namun boleh jadi dalam wilayah yang otonom akan terdapat Pemda yang masih berpegang pada UU LP2B dalam perencanaan peruntukan lahan.  Hanya saja, yang perlu kita perhatian ialah bahwa kewenangan pemberian izin investasi yang menyangkut lahan, menurut UU Ciptaker,  sepenuhnya berada di bawah Pemerintah Pusat. Selain itu, menurut UU Ciptaker tidak ada keharusan untuk mengalokasikan lahan bagi pertanian pangan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Terkait pertanian, dalam perizinan usaha perkebunan, penentuan luas lahan bagi para investor, sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Karena itu, diperkirakan alih fungsi lahan akan semakin melaju tanpa kendali.

 

Melindungi lahan Menurut Islam

Pengesahan UU Ciptaker seakan-akan menggambarkan bahwa kontrol atas lahan pertanian, perkebunan, atau bahkan kehutanan sepenuhnya berada di tangan para investor. Mereka seakan-akan sudah menjadi “pemegang kedaulatan” yang sesungguhnya atas lahan yang menghampar di bumi Indonesia. Namun secara optimistik, tidak mustahil akan terjadinya sebuah perubahan. Karena itu, konsep alternatif masih tetap diperlukan untuk memelihara kontrol atas lahan tersebut. Konsepsi Islam dapat menjadi alternatif penyelesaian, yang dapat menguntungkan bagi seluruh warga negara.

Mengacu pada Husein Abdullah (1990), dalam Islam dikenal adanya kepemilikan umum, yang meliputi berbagai asset strategis dan kebutuhan umum. Hutan dan barang tambang yang memiliki deposit cukup banyak masuk kategori kepemilikan umum. Dari segi manajerial, kepemilikan umum ini tidak boleh diswastanisasi, melainkan dikelola oleh negara, negara pun tidak mengambil untung, tetapi sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Tentu saja dalam pengelolaan kepemilikan umum ini  memperhatikan aspek-aspek profesional yang terkait dengan biaya pengelolaan, penelitian dan pengembangan. Dalam konteks ini, yang perlu menjadi perhatian ialah adanya larangan investasi yang mengarah pada penguasaan oleh individu/sekelompok individu bagi pengelolaan sumber daya alam yang terkandung dalam tanah, seperti batu bara, mas,  nikel, timah, minyak bumi, dan lain-lain. Dengan demikian, negara akan memiliki kedaulatan sepenuhnya terhadap hamparan lahan yang di bawahnya terkandung barang tambang yang memiliki deposit sangat besar. Di samping itu, harta kepemilikan umum akan fungsional bagi kesejahteraan masyarakat, dan akan menghindari  peluang kesenjangan yang membuat negara tergantung pada para investor.

Mengacu pada sumber yang sama, Islam mengenal asset milik negara. Di antaranya adalah tanah/lahan, baik untuk pertanian, perkebunan, atau berbagai keperuan lainnya. Mengacu pada mamankh.com (2020), yang masuk kategori lahan milik negara ialah: padang pasir, gunung, pantai dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya; serta rawa, yaitu tanah yang tertutupi air seperti yang terdapat di antara Kuffah dan Basrah di zaman Umar bin Khathab. Dikabarkan, tanah-tanah tersebut tertutup air sungai Eufrat dan Tigris, setelah sebagian tanggul sungai tersebut rusak, sehingga kawasan tersebut tergenang air dan tidak layak lagi untuk pertanian. Padahal sebelumnya, tanah-tanah tersebut merupakan kawasan pertamanan, tempat tinggal dan lahan pertanian. Genangan air ini mulai muncul pada masa Kubab bin Fairuz, lalu bertambah meluas karena Kubab lalai mengurus tanah-tanah tersebut akibat kesibukannya peperangan melawan kaum muslimin. Dikabarkan, luas lahan yang terlantar itu mencapai 30 farsakh X 30 farsakh atau seluas 27,225 km2 karena setiap farsakh ialah 5,5 km. Akibat genangan, tanah itu menjadi tidak cocok lagi untuk menjadi lahan pertanian.

Lahan yang dianggap milik negara dalam pandangan Islam selanjutnya ialah apa yang disebut as-shawafi. Pihak yang pertama kali memperkenalkan istilah as-shawafi adalah Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab.  Dan, yang dimaksud dengan as-shawafi ialah tanah-tanah negeri yang dibebaskan oleh kaum muslimin, kemudian tanah tersebut dikelola oleh baitul mal kaum muslimin.

Tanah as-shawafi yang sangat terkenal dalam sejarah ialah tanah hitam (as-sawad) yakni tanah subur di seputar Sungai Eufrat di Irak. Disebut “tanah hitam” karena tingkat kesuburannya yang tinggi, sehingga tanah tersebut sangat tepat untuk dijadikan kawasan pertanian/sentra pangan. Tanah hitam tersebut berasal dari dari:  (1) tanah  milik musuh yang terbunuh di medan perang; (2) tanah orang yang lari dari peperangan, (3) tanah milik raja Kisra Persia yang dikalahkan kaum muslimin, (4) tanah milik anggota keluarga Kisra, (5) tanah resapan air, serta (6) tanah bekas tempat tinggal para biarawan. Pengelompokan tanah as-shawafi  oleh Umar bin Khaththab mengacu pada riwayat Abu Yusuf yang mengabarkan bahwa Abdullah bin Walid menceritakan kepadanya tentang Abdu Abdillah bin Hurrah, di mana beliau mengatakan bahwa Umar bin Khaththab telah mengelompokkan tanah as-shawafi pada tanah as-sawad menjadi sepuluh kelompok berdasarkan asal usul kepemilikan dan keadaan tanah tersebut. Enam di antaranya ialah apa yang sudah disebutkan di atas. Selebihnya tidak diungkapkan secara jelas, namun tanah yang biasanya diperuntukkan sebagai fasilitas bagi kehidupan Kisra sebagai pemimpin tertinggi Kerajaan Persia.

Pengelolaan tanah milik negara sepenuhnya menjadi kewenangan kepala negara. Negara dapat memberikan lahan  milik negara kepada individu-individu warga negara yang memerlukan untuk pemerataan. Namun negara tetap mengontrol lahan yang diberikan. Dalam bidang pertanian, misalnya, negara dapat menarik kembali hak atas tanah  yang diberikan jika tanah tersebut dibiarkan tidak produktif selama dua tahun. Negara menghindari kemungkinan terjadinya fragmentasi lahan milik negara yang akan mengurangi kedaulatan negara. Umar bin Khaththab menolak permintaan para panglima untuk membagikan tanah yang ditaklukkan di Irak, Mesir dan Syam karena khawatir akan terjadinya fragmentasi tanah tersebut, dan generasi selanjutnya akan kehilangan akses terhadap tanah tersebut yang sudah dikuasai oleh para panglima dan keturunannya (Al-Haritsi, 2014).

Mengenai pengelolaan lahan milik individu, negara sepenuhnya menyerahkan kepada individu warga negara, walaupun negara tetap mengontrol agar negara tidak kehilangan kedaulatan atas lahan tersebut. Bagi individu pemilik lahan harus senantiasa menjaga produktivitas lahan tersebut. Jika individu membiarkan lahannya lebih dari dua tahun tidak produktif, maka negara dapat menarik hak atas lahan milik individu tersebut. Larangan sewa lahan dalam Islam dapat dipahami sebagai instrument pengendalian bagi kemungkinan terjadinya tuan tanah (feodalisme) yang akan mengganggu kedaulatan sebuah negara. Rasulullah SAW telah membagikan tanah Khaibar kepada para shahabat untuk membatalkan kebiasaan jahiliyyah, di mana hak atas tanah hanya di tangan para tuan tanah.

Bagi Indonesia agenda yang dapat dilakukan adalah menata kembali kontrak karya pengelolaan barang tambang dan pengelolaan HPH dengan berpatokan pada prinsip-prinsip pengelolaan harta kepemilikan umum. Selain itu, perlu penataan kembali tanah milik negara, dan dapat dilakukan reforma agraria untuk pemerataan pemilikan lahan bagi para petani produktif, sehingga usaha tani akan lebih efektif dan efisien. Selanjutnya, Pemerintah dapat mendorong produktivitas lahan milik individu dengan difusi teknologi tepat guna yang akan mendorong efisiensi dan efektivitas usaha tani. Dalam konteks ini Pemerintah juga harus segera membentuk sentra pangan milik negara serta melakukan distribusi hasil produksinya serta mengawasinya, sehingga tidak akan terjadi kekurangan pangan. Namun agenda ini diduga akan menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pihak yang berkepentingan atas pengelolaan SDA Indonesia. Karena itu, agenda ini harus dibangun di atas perundangan yang yang berbasis ajaran Islam yang kuat, serta ditopang oleh kekuatan politik yang besar.

Demikian beberapa usulan dan agenda pemeliharaan kontrol atas lahan. Hal ini memerlukan diskusi dan pendalaman lebih lanjut. Demikianlah, agenda pertanahan kita bukan hanya sekedar memelihara keanekaragaman hayati  tetapi memelihara kedaulatan atas lahan. **

 

Rujukan

Apriyanti, Liana, 2018. “Respons Petani Terhadap Rencana Pembentukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Skripsi Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.”

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad (2014), Al-Fiqih Al-Iqtishadi li Amiril Mukminin Umar bin Al-Khththab, Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Asmuni Solihan  Zamakhsyari, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

DEMA Pertanian UGM (2016)

Kano, Hiroyoshi (2008), “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa  di Jawa pada Abad XIX,” dalam SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;

Maman Kh. (2020), “Lahan Milik Negara dalam Islam” dalam mamankh.com.

SuaraTani. com, 3 Desember 20020).

The Economist, 2018, Global Food Security Index 2018: Building Resilience in the face of Food Security Risk, a report from the economist intelligence unit

Recommended For You