Pola Kepemilikan Sawah Tradisional Di Jawa: Sebuah Tatapan Sejarah

Sawah-Lingko-Labuan-Bajo-sumber-ig-funadventure_

Keberadaan para petani gurem di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan unik. Tulisan ini bermaksud menelusuri pola-pola tradisional kepemilikan sawah sampai abad ke-19 berdasarkan sumber-sumber Pemerintah Hindia Belanda. Singkatnya, para petani gurem ternyata memiliki sawah untuk menghasilkan padi bukan karena fasilitas dari Pemerintah melainkan karena usaha mereka sendiri, dengan membuka lahan kosong atau lahan yang belum ada pemiliknya. Kano (2008)  mengungkapkan istilah “yasa” atau “yaso” bagi pemilik sawah perorangan yang turun-temurun di Jawa. “Yasa” atau “yaso” dalam etimologi Jawa berarti “segala sesuatu yang diperoleh dari usaha perorangan yang mengubah tanah liar menjadi tanah garapan.” Selanjutnya, menurut Kano, istilah “yaso” atau “yasa” dalam Bahasa Jawa mencakup tiga pengertian yang terjadi sekaligus, dan tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu: bekerja membuka tanah, kenyataan menguasai atau menduduki tanah, dan hak atas tanah. Karena itu, dengan membuka tanah menjadi sawah, para petani menguasai tanah, menduduki, memiliki & menggarapnya. Sejalan dengan istilah “yasa,” untuk daerah Priangan dan Banten terdapat istilah “milik, ” berasal dari Bahasa Arab (mel’k) yang berarti adanya pengakuan (diaku) atas kepemilikan lahan tersebut.

Hak atas tanah bagi individu-individu atau keluarga petani itu nampak memiliki legitimasi historis, dan menunjukkan bahwa penyediaan pangan di Indonesia secara langsung atau tidak langsung menjadi beban petani pemilik lahan ini. Hasil survei Pemerintah Hindia Belanda (1868-1869) menunjukkan hal tersebut. Mengacu pada Kano (2008), survei ini sebenarnya bertujuan untuk mengungkap hak-hak tradisional masyarakat pribumi atas tanah; jaminan yang dimiliki pribumi untuk mempertahankan hak mereka atas tanah; faktor-faktor yang menyebabkan lepasnya hak mereka atas tanah; serta hak yang diakui dan dianggap oleh rakyat berlaku untuk menggunakan tanah bebas/tanah liar.

Survei tersebut dilaksanakan di setiap karesidenan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk Jawa Barat wilayah survei mencakup Banten, Jakarta, Karawang, daerah Periangan, dan Cirebon. Di Jawa Tengah wilayah survei dibedakan menjadi wilayah kerajaan dan non-kerajaan. Wilayah non-kerajaan meliputi Tegal, Banyumas, Pekalongan, Bagelen, Semarang, Jepara dan Kedu. Sedangkan wilayah kerajaan terdiri dari Yogyakarta dan Surakarta. Wilayah survei di Jawa Timur terdiri dari Sembilan karesidenan, yakni: Rembang, Madiun, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Banyuwangi, dan Madura.

 

Tekanan Kaum Kapitalis-Liberal di Parlemen

         Pelaksanaan survei oleh Pemerintah Hindia Belanda tersebut sebenarnya karena tekanan dari kaum kapitalis-liberal di Majelis Permusyawaratan Tinggi Negeri Belanda. Menurut uraian Kano (2008), sekitar abad ke XIX di Negeri Belanda kaum kapitalis-liberal berkembang cukup pesat, di mana usaha mereka sampai pada tingkat yang sangat menguntungkan. Semakin berkembangnya pasar Eropa atas berbagai produk pertanian & perkebunan tropis telah mendorong kaum kapitalis untuk menekan Pemerintah Hindia Belanda agar mengubah pola penguasaan tanah di Jawa, dari sistem tanam paksa menjadi bentuk “kolonisasi” (penguasaan) tanah oleh perusahaan-perusahaan swasta, yakni dengan menempatkan para pengusaha perkebunan swasta sebagai inti pengelola Pulau Jawa.

Tuntutan kaum kapitalis-liberal atas tanah mendapatkan reaksi cukup keras dari kaum “konservatif” yang masih tetap menghendaki sistem tanam paksa, di mana Pemerintah Hindia Belanda merupakan inti penguasa atas tanah, dan tetap memberlakukan tanam paksa kepada petani-petani lokal di Jawa dengan menanam berbagai produk yang dianggap menguntungkan bagi Pemerintah. Hal ini menimbulkan perdebatan yang cukup keras antara dua kelompok kepentingan tersebut, yakni antara kaum liberal-kapitalistik dengan kaum konservatif. Kaum liberal dengan tegas menuntut dua hal penting. Pertama, agar Pemerintah Belanda mengakui hak-hak milik mutlak (eigendom) orang Indonesia atas tanah-tanah yang ditempatinya sehingga memungkinkan penyewaan dan pembelian tanah oleh perusahaan swasta Belanda. Kedua, agar pemerintah menetapkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan bahwa hak atas tanah itu merupakan hak milik mutlak (property) individu masyarakat adalah hak milik negara. Selanjutnya kaum kapitalis-liberal menuntut agar Pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta untuk menguasai tanah tersebut dalam bentuk sewa jangka panjang yang murah (tanah erfacht).

         Pihak konservatif keberatan atas tuntutan kaum liberal dengan  dua alasan utama juga. Pertama, jika tuntutan kaum liberal ini dikabulkan akan mengganggu ketenteraman dan keamanan dalam negeri, sehingga kaum “konservatif” menantang hasrat kaum liberal dengan gigih. Kedua, hak atas tanah bagi pribumi selama ini didasarkan pada persyaratan-persyaratan pribumi, komunal dan adat istiadat lokal, sehingga tidak mungkin mengaturnya atas dasar hak-hak kepemilikan (property) Barat.

Atas dua gagasan yang bertolak belakang itu, serta untuk menetapkan kebijakan yang memuaskan bagi kedua belah pihak, maka Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk melakukan penelitian untuk mengetahui hukum asli yang secara tradisional berlaku bagi masyarakat Hindia Belanda. Karena itu, penelitian ini bersifat resmi yang diumumkan oleh Kerajaan Belanda dan diperintahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda.

 

Hak Kepemilikan Atas Lahan Sawah

Sejalan dengan perdebatan di atas, maka survei terfokus pada identifikasi bentuk-bentuk tanah yang dimiliki masyarakat, serta bentuk-bentuk kepemilikan tradisional atas tanah tersebut. Karena itu, laporan survei tersebut telah menyajikan berbagai bentuk tanah yang dimiliki masyarakat secara rinci, terdiri dari tanah sawah, tanah kering, tanah pekarangan, dan kebun. Selain itu,  laporan ini juga menyajikan data mengenai kolam ikan, hutan nifah, dan ladang garam. Yang lebih penting lagi, sesuai tujuan survei, laporan ini menyajikan kategori kepemilikan untuk setiap bentuk tanah yang dimiliki, yang dirinci menjadi:  (1) kepemilikan perorangan secara turun-temurun, (2) hak milik komunal, (3) penggunaan resmi, dan (4) hak-hak khusus (Kano, 2008).

Namun demikian, dari berbagai jenis tanah yang dimiliki masyarakat pribumi, ternyata klasifikasi tanah yang terpenting bagi masyarakat tradisional Jawa untuk mempertahankan hidupnya ialah sawah, bukan tegalan atau bentuk-bentuk tanah lainnya. Kepemilikan sawah secara tradisional terdiri dari dua kategori utama, yakni kepemilikan individual dan kepemilikan komunal. Dari 808 desa yang menjadi sampel dalam penelitian ini, hampir semua desa memiliki sawah. Hanya terdapat 33 desa tanpa sawah, dan terdapat 264 desa tanpa tegalan. Artinya, para petani dapat hidup tanpa tegalan, tetapi tidak bisa hidup tanpa sawah. Hal ini terkait dengan makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya, atau Jawa pada khususnya yang secara tradisional tergantung pada nasi.

Kepemilikan atas sawah tersebut didominasi oleh kepemilikan individual yang turun temurun serta kepemilikan komunal. Dari 808 desa lokasi penelitian, terdapat 452 desa yang memiliki sawah berdasarkan milik perseorangan secara turun temurun. Demikian halnya terdapat 480 desa yang kepemilikan sawahnya bersifat komunal. Bentuk kepemilikan perseorangan dan kepemilikan komunal terdapat di 178 desa sampel (Kano, 2008).

Kepemilikan individu atas sawah, seperti sudah diuraikan secara singkat, merupakan hasil dari upaya yang dilakukan oleh individu dalam memanfaatkan tanah liar atau tanah yang belum ada pemiliknya menjadi sawah yang produktif. Mengacu pada uraian Kano (2008), nama-nama sawah individual tersebut sangat lekat dengan nama pencetaknya. Di wilayah Banten, misalnya, terdapat istilah yasa, yasa sorangan, dan babedohan  yang menggambarkan upaya-upaya individual dalam mencetak sawah tersebut. Di desa-desa wilayah Priangan (Jawa Barat) terdapat istilah yang lekat dengan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, seperti yasa, apaal, dan alpukah yang berarti hasrat atau kreasi yang dilakukan oleh seseorang dalam membentuk sawah tersebut. Di beberapa daerah lain, terdapat berbagai istilah lokal yang menggambarkan makna yang sama. Di Probolinggo, misalnya, terdapat istilah asal, gawean debi, caluk debi, babadan, dan bukaan yang menggambarkan upaya-upaya membuka lahan yang dilakukan oleh sejumlah individu.

 

Rambu-Rambu Tradisional Kepemilikan Sawah Individual

Mengacu pada sumber yang sama, kepemilikan perorangan atas sawah cenderung tidak bersifat kepemilikan mutlak. Konsep kepemilikan dalam masyarakat modern (property, eigendom) tidak bisa diterapkan pada pemilikan tanah pada masyarakat Jawa tradisional. Hal ini sering ditandai dengan adanya kekangan-kekangan komunal untuk memiliki sawah secara mutlak. Selain itu, sering terdapat peraturan ketat yang menghambat penjualan sawah, atau bahkan melarang penjualan tanah sawah secara mutlak. Dalam hal ini, survei Pemerintah Hindia Belanda juga melaporkan bahwa pemilik tanah sawah (atau secara faktual dia dianggap sebagai pemilik) bukan berdasarkan bukti-bukti kepemilikan secara resmi melainkan atas dasar pengakuan dari seluruh masyarakat dalam sebuah desa; dan hal ini hanya bisa bagi individu-individu yang benar-benar menggarap atau betul-betul berminat menggarap sawah tersebut.

Sejalan dengan hal itu, maka terdapat rambu-rambu tradisional mengenai kepemilikan tanah dan tata cara pemindahan hak milik atas tanah sawah, baik kepada individu lain atau beralih kepemilikan menjadi milik komunal. Hakikatnya, hak atas tanah sawah itu dapat berlaku secara turun-temurun, namun hal ini hanya bagi individu dan keturunannya yang mampu menjalankan kewajibannya dalam mengurus sawah. Jika sudah tidak mampu mengurusnya, maka sawah tersebut beralih kepemilikan menjadi milik komunal. Jika pewarisnya masih anak-anak atau anak gadis yang belum dewasa, maka kewajiban mengurus sawah tersebut dapat dilakukan oleh pihak lain atas nama keluarga pemilik. Jika pewaris sudah dewasa atau anak gadis sudah menikah, maka pengurusan sawah itu dapat diserahkan kembali kepada pihak yang berhak atas sawah tersebut.

Sesuai perjalanan waktu, sawah itu beralih kepemilikan secara turun temurun. Jika sudah jauh dari pencetaknya, sawah itu akan menjadi harta pustaka atau dianggap sebagai harta pusaka. Kano (2008) menyebutkan beberapa istilah sawah pusaka. Di Banten, misalnya,  terdapat istilah pusaka, yasa pusaka, turunan, tetilar, tetinggal, wasiat ki kolot, dan warisan ki kolot.  Di wilayah Priangan terdapat sebutan  pusaka, tetinggal, turunan, dan waris. Di Karawang terdapat istilah turunan, tetinggal, waris, dan warisan.  Demikian halnya di beberapa wilayah yang menjadi fokus survei Pemerintah Hindia Belanda, seperti di Cirebon, Tegal, Banyumas, Pekalongan, Bagelen, Jepara, Rembang, Madiun, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Besuki terdapat istilah-istilah yang sama atau hampir sama yang menggambarkan adanya kepemilikan individual atas sawah secara turun temurun.

Mengenai alih kepemilikan lahan sawah, terdapat peraturan yang mempersulit atau bahkan melarang pemindah tanganan hak atas sawah, khususnya kepada individu-individu yang berasal dari luar desa. Secara tradisional, lahan sawah bukanlah aset komersial yang dapat diperjualbelikan secara umum. Di banyak desa di Jawa Tengah dan di Pasuruan, Jawa Timur – yang terekam dalam survai Pemerintah Hindia Belanda – terdapat larangan pemindahtanganan sawah kepada pihak-pihak dari luar desa. Kejadian yang sama – seperti yang ditulis Kano (2008) — terdapat di Probolinggo, Besuki, dan Banyuwangi yang sejalan dengan ketentuan yang memperketat kewajiban pengelolaan sawah. Hanya saja, terdapat perbedaan dengan kecenderungan di daerah-daerah Priangan yang secara tradisional tidak terlalu ketat bagi tindakan pengalihan kepemilikan sawah kepada individu dari luar desa. Bagi masyarakat tradisional Priangan, sawah cenderung lebih bersifat komersial.

         Pola kepemilikan tanah yang tidak bersifat komersial sejalan dengan pola menggarap tanah yang bersifat subsistens. Secara sederhana subsistens berarti kegiatan bertani yang berorientasi hanya untuk memenuhi kebutuhan individu dan keluarga, tidak berorientasi pada keuntungan dan tidak berorientasi pasar. Menurut Rahardjo (2017), subsistens dapat diartikan sebagai cara hidup yang cenderung minimalis, di mana kegiatan menggarap lahan pertanian ditujukan untuk sekedar hidup. Warthorn (Rahardjo, 2017) membedakan subsistensi produksi dan subsistensi hidup. Subsistensi produksi dikarakterisasi oleh derajat komersialisasi dan monetisasi yang rendah; sedangkan subsistensi hidup berkaitan dengan hidup yang minimalis, yakni hanya sekedar hidup. Pertanian subsistens mengindikasikan kegiatan bertani untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, di mana semua produksi dikonsumsi dan tidak ada yang dijual. Di samping itu, tidak ada pengguna atau penghasil barang-barang atau pelayanan-pelayanan yang berasal dari luar yang masuk ke desa mereka.

Salah satu ciri penting bagi petani subsistens dalam mengelola lahan pertanian, menurut Scott (2019) berdasarkan penelitiannya di Asia Tenggara, ialah ketergantungan yang tinggi terhadap belas kasihan alam. Artinya, teknologi yang digunakan sangat sederhana, sehingga kurang mampu mengendalikan risiko-risiko alam. Namun dari sekian teknik yang dipakai, para petani berusaha memilih teknik-teknik rutin yang meminimalisasi kegagalan. Mengutip Roumasett, Scott (2019) mengemukakan prinsip subsistens yang mengedepankan konsep “safety first” (dahulukan selamat) yang menjadi landasan petani kecil dalam mengelola lahan mereka. Namun karena margin keuntungan petani sangat kecil, dengan teknik yang terbaik sekalipun menurut petani, mereka tetap rawan kegagalan panen.

 

Kepemilikan Sawah Secara Komunal

Hak milik individual petani yang turun temurun, seperti digambarkan di atas, merupakan hak milik sosial yang sah, namun tidak memiliki kepastian yang sesungguhnya. Artinya, para petani tidak sepenuhnya memiliki hak atas tanah tersebut. Demikian Scot (2019) berdasarkan hasil pengamatannya di Tonkin (Burma Hulu) dan di Jawa. Tarik menarik antara kepemilikan individual dengan kepemilikan komunal tampak sangat kuat, seperti tergambarkan dari uraian di atas. Kepemilikan sawah secara individual tidak bisa dipisahkan dari kepemilikan sawah secara komunal. “Pelanggaran” yang dilakukan oleh para pemilik sawah individual – seperti tidak melaksanakan kewajibannya dalam mengurus sawah tersebut – mengakibatkan beralihnya kepemilikan sawah itu menjadi milik komunal, di samping terdapat sawah yang memang dari awalnya sudah menjadi milik komunal. Mengacu pada Kano (2008), sawah komunal secara kelembagaan merupakan sawah yang dikelola oleh desa. Karena itu, sawah komunal ini sering disebut dengan berbagai istilah lokal, seperti sawah desa, playangan, bumen-bumen, prutahan, lanyah, sawah sanggan, baku, bumi, kebumen, norowito, sewan, krajan, jung, bakon, kramanan, ideran, baratan, auman, bagen, kongsen, negoro, dan rojo yang menggambarkan kuatnya peran masyarakat bagi sawah itu.

Para individu dapat mengelola atau menggarap sawah komunal dengan beberapa persyaratan, di antaranya ialah seorang penggarap harus mau dan mampu melakukan kerja wajib dalam mengelola lahan. Penggarap harus sudah kawin, juga harus memiliki pekarangan atau rumah. Selain itu, dan yang lebih penting, ialah bahwa usulan dari seorang individu untuk menggarap sawah komunal harus disetujui oleh para penggarap lainnya. Ketentuan penting bagi penggarap sawah komunal ialah adanya larangan untuk menjual atau memindahtangankan hak pengelolaan tanah tersebut kepada pihak lain. Pengelolaan sawah tersebut dilakukan secara bergilir dan secara periodik. Namun demikian, Kano (2008) menggambarkan bahwa persyaratan itu bukan sesuatu hal yang pasti. Di sejumlah desa, persyaratan sudah menikah, memiliki rumah dan pekarangan terkadang tidak berlaku. Yang jelas, pengelolaan sawah komunal sangat tergantung pada kesepakatan warga desa.

Kepemilikan komunal itu cukup dominan pada masyarakat Jawa tradisional dibandingkan dengan kepemilikan individual. Dari 808 desa yang menjadi obyek survei, sebanyak 480 desa memiliki sawah yang berbentuk kepemilikan komunal. Sawah komunal yang merupakan sawah bersama itu juga digarap oleh individu-individu petani. Peran kepala desa sangat besar dalam membagikan sawah tersebut kepada para penggarap. Mengacu pada Kano (2008), pembagian sawah komunal dapat dilakukan melalui: (a) kepala desa menentukan pembagian tanah komunal bagi para penggarap; (b) persetujuan dicapai antara para penggarap yang menguasai bagian tanah; dan (c) terdapat tanah garapan bagi kepala desa atau pamong desa secara khusus, terutama jika kepala desa tidak memiliki sawah bengkok, yakni sawah yang diperuntukkan secara khusus bagi kepala desa atau pamong desa. Dalam hal tidak adanya sawah bengkok, para kepala desa atau pamong desa seringkali mendapatkan bagian yang lebih luas dari sawah komunal.

Para penggarap tanah komunal dapat dibagi menjadi dua bagian berdasarkan curahan tenaga yang mereka berikan, yakni: para petani penggarap dengan kewajiban kerja penuh; dan para petani dengan kewajiban kerja tidak penuh. Di beberapa daerah tertentu, terdapat istilah khusus yang berbeda-beda bagi dua kelompok petani penggarap tersebut. Para petani penggarap dengan kewajiban kerja penuh sering disebut dengan istilah sikep kecapak, sikep patuh, kuli kenceng, dan gogol kenceng. Sedangkan para petani penggarap dengan kerja tidak penuh sering disebut dengan istilah sikep cilik, sikep kresak, wong kendo, gogol kendo, setengah kuli, kuli setengah kuat, dan lain sebagainya. Sekalipun para penggarap sudah berlangsung beberapa lama, para penggarap tidak dapat mewariskannya kepada anak-anak mereka. Hal ini berbeda dengan sawah milik perorangan yang dapat diwariskan. Adanya praktek menggarap lahan ini, mengacu pada Scott (2019) tidak diragukan lagi menimbulkan hubungan hierarkis yang menimbulkan kelas-kelas sosial di kalangan petani subsistens.

Mengenai luas sawah yang digarap, tergantung kepada jumlah petani penggarap. Semakin banyak jumlah petani penggarap, semakin sempit luas lahan yang mereka garap.  Banyak petani yang menggarap sawah dengan luas setengah bau (0,35ha) atau seperempat bau (0,17 ha). Dalam kasus yang sangat ekstrim luas lahan garapan hanya 0,09 ha, yang terjadi di Desa Blotongan, di Semarang; dan seluas 0,07 ha di Desa Bugel, Jepara.

 

Sawah Bengkok dan Sawah Komunal

Pembahasan tanah komunal di daerah Jawa tidak lepas dari keberadaan tanah bengkok. Yang terakhir ini merupakan istilah bagi sawah yang diperuntukkan bagi para pejabat, di mana mereka mendapatkan bagian tanah atas jabatannya itu yang dapat dipergunakan untuk kepentingan pribadinya. Pejabat dalam hal ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, pejabat pribumi seperti bupati dan wedana yang bertempat tinggal di kota. Kedua, lurah atau pejabat desa yang tinggal di desa. Kelompok pertama wajib mendapatkan sawah dari tanah apanage, yakni tanah yang diperuntukkan secara khusus bagi pejabat tersebut oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sawah tersebut sering disebut dengan istilah lungguh di Nanggarung dan bengkok di Mancanegara (Kano, 2008).

Pejabat tipe kedua yang merupakan pejabat rendahan — yakni kepala desa yang tinggal di desa — memperoleh sawah jabatan yang diperuntukkan bagi kepala desa dan pamong desa, berasal dari sawah bengkok, yakni sawah milik desa. Jika desa tersebut tidak memiliki sawah bengkok, maka “gaji” untuk lurah dan pamong desa diambil dari tanah komunal. Tegasnya, sebagian tanah komunal –bahkan sebagian besar – diperuntukkan bagi “gaji” kepala desa dan pamong desa. Kano (2008) dengan mengacu pada laporan survei Pemerintah Hindia Belanda menyebutkan, dari 808 desa sampel, terdapat 523 desa yang memiliki tanah jabatan bagi kepala desa dan pamong desa. Namun demikian, dari jumlah desa tersebut, sebanyak 469 desa memiliki sawah jabatan yang berasal dari tanah milik komunal; sedangkan desa yang memiliki tanah bengkok hanya 54 desa. Karena itu, tanah komunal itu di sebagian besar desa diperuntukkan bagi “gaji” kepala desa dan pamong desa, dan hanya sebagian kecil yang diserahkan kepada petani penggarap, dengan luas sawah sangat sempit yang diserahkan kepada para petani penggarap.

 

Penutup

Demikianlah, tanah di Jawa yang paling penting dan menjadi pokok bagi kehidupan mereka ialah sawah, bukan tegalan atau kolam ikan. Sawah menjadi simbol status sosial bagi pemiliknya. Luas sawah yang dimiliki berhubungan dengan tingginya status sosial pemiliknya. Sawah ditinjau dari segi kepemilikannya terbagi menjadi dua bagian, yakni sawah individual dan sawah komunal. Sawah individual dibuat atas kreativitas individual, dan nampaknya sawah individual inilah yang perlu menjadi fokus pembahasan dalam menatap kontinuitas lahan pertanian di era modern. Sawah komunal sebagian diperuntukkan dalam sejarahnya untuk kepala desa dan pamong desa, dan sebagian kecil diserahkan kepada para petani penggarap secara individual, baik penggarap penuh waktu maupun penggarap paruh waktu. Sawah bengkok yang merupakan sawah yang diperuntukkan bagi kepala desa dan pamong desa, jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan sawah komunal.

 

Reference

Kano, Hiroyoshi (2008), “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa  di Jawa pada Abad XIX,” dalam SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Penyunting), Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;

Rahardjo (2017), Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Scott, James C. (2019), Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES.

Incoming search terms:

Recommended For You

One Comment to “Pola Kepemilikan Sawah Tradisional Di Jawa: Sebuah Tatapan Sejarah”

  1. Dilihat dari status kepemilikan lahan maka status kepemilikan lahan yang beragam akan mempengaruhi karakteristik-karakteristik tertentu antara lain: (a) jaminan untuk akses terhadap lahan dalam jangka panjang, (b) kemudahan untuk akses kepada lembaga perkreditan, (c) kemudahan membuat keputusan berkaitan dengan pemanfaatan lahan, (d) jaminan terhadap penyerobotan dari pihak lain, (e) jaminan untuk memperoleh seluruh hasil produksi atas pemanfaatan lahan, (f) kemudahan mentransfer hak-hak penguasaan atas lahan kepada fihak lain, (g) kemudahan ikut serta dalam pembentukan kelompok dan (h) kemudahan campur tangan pemerintah dalam hal penyuluhan.

Comments are closed.