Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65/2019 tentang Jaminan Luasan Lahan Pertanian. PP ini ditetapkan tanggal 19 September 2019 dan diundangkan tanggal 23 September 2019.
Membaca PP ini, tampak adanya hasrat yang besar dari pemerintah Indonesia untuk menjaga agar lahan pertanian tetap ada; agar para petani dapat menggarap lahan pertanian dengan suka cita; dan agar mereka pun mendapatkan penghidupan yang layak dari usaha tani. Tujuan pucaknya adalah tersedianya pangan yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menuju swasembada pangan (food self-sufficiency).
Harus diakui bahwa keluarnya PP ini merupakan upaya terobosan dari Pemerintah untuk mengatasi berkurangnya lahan pertanian pangan secara terus menerus. Pada tahun 1983 luas sawah di Indonesia adalah sekitar 16 jutaan hektar, di tahun 2013 menurun menjadi 8 jutaan hektar, di tahun 2017 tercatat 7,75 hektar, dan di tahun 2018, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sawah di Indonesia hanya tinggal 7,1 juta hektar (CNN Indonesia, 25/10/18). Hal ini wajar menjadi kekhawatiran semua pihak, karena penurunan luas areal sawah itu terjadi di tengah-tengah jumlah penduduk yang terus bertambah. Sedangkan penduduk masih tergantung pada beras/nasi. Ketergantungan terhadap pangan import akan mengganggu kedaulatan pangan, dan akan rentan terhadap krisis sosial, ekonomi, dan politik.
Terobosan yang dilakukan pemerintah, melalui PP ini, adalah memberikan kemudahan kepada petani untuk memperoleh: (a) tanah negara yang diperuntukkan atau ditetapkan sebagai kawasan pertanian; dan (b) lahan Pertanian yang berasal dari bekas lahan terlantar yang ditetapkan dan potensial menjadi lahan pertanian. Terobosan lainnya adalah memberikan kemudahan perolehan modal bagi petani yang berminat menggarap lahan milik negara tersebut melalui skema pinjaman perbankan.
Pemerintah dapat memberikan kemudahan penggunaan lahan tersebut kepada petani dalam bentuk izin pengusahaan, pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Artinya, secara kepemilikan, lahan tersebut tetap milik negara; petani hanya berhak mengusahakan, mengelola, atau memanfaatkan lahan tersebut.
Syarat Menjadi Petani Penggarap
Tidak seluruh petani berhak memperoleh lahan garapan itu, melainkan terdapat syarat-syarat tertentu. Sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 4 point 1-3, luas lahan maksimal yang boleh digarap oleh masing-masing petani adalah 2 hektar. Calon penggarap sudah melakukan aktivitas usaha tani minimal 5 tahun. Calon penggarap itu tidak memiliki lahan, tetapi sudah menjadi petani penggarap minimal lima tahun, dengan lahan garapan maksimal 2 ha; atau petani pemilik lahan dengan luas lahan yang dimilikinya maksimal 2 ha, dan sudah mengusahakan lahannya minimal 5 tahun.
Kemudahan memperoleh lahan pertanian juga diberikan kepada petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Syarat lainnya adalah calon penggarap berdomisili di kecamatan yang sama dengan lahan pertanian yang akan digarapnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan KTP dan kartu keluarga yang dimiliki calon penggarap.
Prosedur Memperoleh Lahan
Petani yang berminat menggarap lahan milik negara itu tidak langsung memperolehnya begitu saja melainkan harus melalui prosedur yang ditetapkan. Petani calon penggarap harus mengajukan permohonan kepada bupati/wali kota dengan melampirkan foto kopi kartu domisili, surat pernyataan sudah melakukan usaha tani selama lima tahun yang divalidasi oleh kepala desa/lurah setempat, surat pernyataan telah menggarap lahan milik negara bagi petani yang sudah menggarap lahan milik negara, dan surat keterangan sebagai anggota/telah bergabung dalam kelompok tani.
Atas permohonan izin tersebut, bupati/wali kota akan melakukan verifikasi, dan mengeluarkan izin bagi usulan yang memenuhi persyaratan, setelah berkordinasi dengan kantor pertanahan setempat. Selanjutnya, petani yang sudah memperoleh izin harus menerapkan cara budi daya pertanian yang baik, cara panen yang baik, dan cara pengolahan hasil pertanian yang baik.
Petani Muda, bukan Petani Senior
Mencermati syarat-syarat pengajuan izin pemanfaatan lahan tersebut, terutama keharusan bahwa petani sudah aktif menggarap lahan pertanian minimal lima tahun, kemungkinan yang akan mengajukan adalah petani senior, yang berusia di atas 40-an tahun. Secara faktual, para petani di Indonesia yang aktif adalah para petani senior. Menurut survey LIPI, rata-rata usia petani di Indonesia di atas 45 tahun. Lebih jelasnya, penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu menunjukkan, rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di Jawa Tengah adalah 52 tahun. Sedangkan kaum muda yang bersedia melanjutkan usaha tani keluarga di sana hanya sekitar 3%. “Berkaca dari hasil survei ini, bila ke depan kondisinya tetap dibiarkan, maka Indonesia mengalami krisis petani, “kata Haning Romdiati, peneliti LIPI (Dikutip dari Viva.co.id., 25 Oktober 2019).
Jika terdapat pekerjaan lain di luar sektor pertanian, maka petani akan lebih memilih sektor lain. Pekerjaan di sektor prertanian akan mereka kesampingkan. Penelitian Losvitasari dkk. (2017) di Kawasan Pariwisata Tanah Lot, Tabanan, Bali, menunjukkan kecilnya minat bertani di kalangan pemuda yang sudah terbiasa dengan kegiatan pariwisata. Sebaliknya mereka lebih senang bekerja di sektor pariwisata karena lebih bergengsi dan berpenghasilan lebih besar; padahal Tabanan merupakan salah satu pusat produksi pangan di Bali.
Penelitian Maman dkk. (2017) dilakukan terhadap pemuda tani pemilik lahan di Kecamatan Gekbrong dan Warung Kondang, Kabupaten Coianjur, Jawa Barat yang lahannya masih utuh tetapi di seputarnya sudah banyak lahan yang terkonversi oleh berbagai penggunaan di luar sektor pertanian. Hasilnya, memang sangat mengkawatirkan. Sekitar 80% pemuda tani memiliki persepsi yang rendah dan moderat terhadap praktek bertani padi, baik pada fase pra tanam, fase pengolahan tanah & pemeliharaan tanaman, dan fase panen & pascapanen. Persepsi yang moderat di kalangan pemuda tani sangat riskan karena dapat beralih pada persepsi negatif terhadap praktek usaha tani.
Rendahnya minat pemuda terhadap usaha tani bukan hanya terjadi di sektor pertanian pangan, tetapi terjadi juga pada sektor hortikultura. Guru Besar UGM, Irwan Abdullah, mengeluhkan rendahnya keterlibatan generasi muda dalam pertanian kakao. Disebutkan, kelompok usia 18-24 tahun yang berpartisipasi dalam perkebunan kakao hanya sebesar 4%, dan kelompok 25-31 tahun sebesar 21%. Adapun persentase keterlibatan kaum muda untuk membantu orang tua/pihak lainnya di sektor pertanian kakao juga menunjukkan angka rendah. Pada kelompok usia 18-24 tahun dan 25-35 tahun partisipasi hanya sebesar 31% dan 25% (SurveyMetter, 25 Oktober 2018)
Cenderung Menjual Lahan
Ketidakinginan bertani menjadi dorongan yang kuat untuk menjual lahan pertanian yang mereka miliki. Demikian hasil penelitian yang dilakukan Maman dkk. (2017) di Gekbrong dan Parung Kondang, Cianjur, Jawa Barat terhadap para pemuda tani pemilik lahan. Hasil penelitian yang menunjukkkan kecenderungan yang sama juga tampak dalam studi kasus yang dilakukan Dwipradnyana (2014) di Subak Jadi, Kediri, Tabanan, Bali. Sekitar 85% petani sampel berpandangan bahwa lahan pertanian tidak pernah memberikan hasil yang diharapkan (Dwipradnyana, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian Losvitasari dkk. (2017) yang juga dilakukan di Tabanan bahwa petani yang sudah terbiasa mendapatkan keuntungan dari kegiatan pariwisata memiliki kesenangan, ketertarikan, dan keterlibatan yang rendah terhadap sektor pertanian.
Perlu Kebijakan untuk Menumbuhkan Minat Bertani
Walhasil, untuk menjaga sustainabilitas pertanian pangan di Indonesia, terrobosan yang perlu dilakukan bukan ditekankan pada penyediaan lahan pertanian, melainkan yang paling utama ialah menumbuhkan minat bertani di kalangan generasi muda. Jika sudah tumbuh minat bertani yang ditopang oleh keterampilan, maka penyediaan lahan merupakan sebuah keniscayaan. Artinya, Peraturan Peemrintah tentang Jaminan Lahan Pertanian tidak cukup melainkan diperlukan peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur pengembangan generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian.
Pengadaan pangan dan penyediaan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan – termasuk pembentukan SDM yang beekrja di sektor pertanian – memang seharusnya ditangani oleh Pemerintah secara langsung. Sebagaimana diketahui, bahwa usaha di sektor pertanian padi – khususnya on farm — tidak memberikan keuntungan maksimal, sehingga perlu kebijakan yang kuat dan dengan keinginan yang tinggi untuk menjaga sustainabilitas kegiatan pertanian pangan.
Dalam hal ini kita dapat mencontoh manajemen Rasulullah SAW. Beliau sebagai kepala negara langsung menyediakan sumber daya manusia untuk bertani, menyediaakan dan mengelola lahan pertanian pangan khususnya yang berasal dari lahan milik negara, mengawasi proses produksi pangan agar tidak terjadi penyimpangan; dan melakukan distribusi pangan oleh negara dan mengawasinya secara ketat. Di sisi lain, beliau mendorong individu agar mau memanfaatkan lahan mereka untuk bertani, namun dalam hal ini sepenuhnya menjadi hak optional pemilik lahan.***
Rujukan
CNN Indonesia, 10/25/18
Dwipradnyana, I.M.M. 2014, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian Dan Pengaruhnya Bagi Kesejahteraan Petani: Studi Kasus Di Subak Jadi, Kediri, Tabanan. Tesis Universitas Udayana.
Losvitasari, N.M. Diarta, I.K.S, Suryawardani, I.G.A.O. 2017. Persepsi Generasi Muda terhadap Minat Bertani di Kawasan Pariwisata Tanah Lot: Kasus Subak Gadon III, Tabanan, E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. 6(4):477-485.
Maman U., Nindyantoro, dan Margono, T.T. 2017a, Initiating the Model of Wet Rice Field Management to Optimize Staple Food Availability: An Explorative Study in Cianjur Farming Area. Laporan Hasil Penelitian Yang Belum Diterbitkan.
SurveyMetter, 25 October 2018
Viva.co.id., October 25, 2019