Kultum Guru Besar KAHMI: Meneladani Manajemen Rasulullah Saw Menuju Swasembada Pangan

KULTUM DI DEPAN GUBE HMI

Ketika konversi lahan pertanian pangan terus melaju dan minat bertani pun semakin berkurang, maka sudah saatnya pembangunan pertanian – khususnya dalam penyediaan pangan pokok – mengacu pada kebijakan pangan Rasulullah SAW.  Hal ini menjadi fokus pembahasan dalam kultum yang diselenggarakan para guru besar dan doktor Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) pada Kamis malam, 12 November 2020.  Kultum ini dilaksanakan secara rutin setiap Kamis malam, diawali dengan bacaan Al-Qur’an, dilanjutkan dengan “kultum” antara 20 sampai 25 menit, dan dilanjutkan dengan kajian tafsir.

Kamis malam, 12 November yang lalu, saya sebagai guru besar alumni HMI mendapat giliran untuk membawakan kultum. Tema yang diangkat ialah “Kelembagaan Petani Menuju Swasembada Pangan: Pendekatan Siroh Nabawiyyah.”

Nabi Muhammad SAW ketika memperoleh lahan dari Khaibar, beliau membagikan lahan tersebut kepada para sahabat. Hal ini untuk menegaskan bahwa individu dalam pandangan Islam memiliki hak atas lahan. Di zaman jahilillah (pra-Islam), para individu tidak memiliki hak atas lahan. Kepemilikan lahan hanya terbatas hanya pada para kepala suku yang memiliki kelebihan kekuatan fisik, sehingga bisa mengalahkan kelompok masyarakat yang lemah. Dengan sendirinya pihak yang lemah tidak memiliki hak atas lahan. Mereka yang lemah secara fisik, yang tidak mampu bertarung dengan para kepala suku yang punya kelebihan kekuatan fisik, harus rela menjadi hamba sahaya. Rasulullah SAW ingin membatalkan/meniadakan kebiasaan ini. Karena itu, beliau membagikan lahan milik negara di Khaibar kepada para sahabat. Dengan tindakan ini, Rasulullah menegaskan bahwa Islam mengakui kepemilikan individu, dan negara pun dapat memberikan lahan kepada individu warga negara yang dianggap membutuhkan untuk menghilangkan kesenjangan.

Pemberian lahan oleh negara kepada individu dengan catatan agar lahan itu dijaga produktivitasnya. Jika lahan itu dibiarkan tidak produktif – tidak ditanami – maka negara dapat mengambil kembali hak atas lahan pertanian yang diberikan oleh negara kepadanya.

Di sisi lain pemberian lahan oleh Nabi SAW sebagai kepala negara memberikan arti bahwa kewajiban penyediaan pangan pokok menjadi tanggung jawab individu. Sebagai kepala keluarga, dia berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. termasuk penyediaan pangan. Individu pemilik lahan dianjurkan untuk menanami lahannya secara produktif. Namun tidak ada paksaan bagi individu agar memanfaatkan lahannya bagi kegiatan bertani. Hal ini bersifat opsional. Artinya, pemilik lahan boleh memanfaatkan lahannya untuk bertani atau untuk kegiatan lainnya. Ketentuan ini berlaku bagi lahan pertanian milik individu.

Sentra Pangan Milik Negara

Namun demikian, ketika Nabi memperoleh lahan berikutnya yang masih di Kawasan Khaibar, Nabi tidak membagikannya, melainkan beliau memeliharanya sebagai sentra pangan milik negara. Untuk mengelola sentra pangan ini Nabi melakukan skim kerja sama al-musaqoh dengan komunitas Yahudi yang trampil dalam praktek bertani. Al-musaqoh artinya kerjasama antara pemilik lahan dengan petani penggarap, di mana semua sarana produksi dan biaya sepenuhnya berasal dari pemilik lahan. Penggarap seakan-akan hanya sebagai pekerja yang mendapat bagian dari produksi pangan dari lahan tersebut sesuai kesepakatan.

Nabi mengangkat petugas khusus untuk mengawasi produksi pangan dari Khaibar ini, yakni Nabi mengangkat Abdullah bin Rawahah. Sampai Abdullah meninggal dunia di Perang Muktah, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya.

Nabi bukan hanya sekedar mengatur produksi pangan, melainkan beliau juga melaksanakan dan mengawasi distribusi pangan dari Khaibar dengan ketat.

 

Dual System Penyediaan Pangan

Mengacu pada manajemen Rasulullah SAW tersebut, maka untuk penyediaan pangan pokok dilakukan dengan dual system, yakni penyediaan pangan oleh negara yang berasal dari lahan milik negara dan penyediaan pangan oleh individu-individu warga negara. Keseimbangan pasokan pangan yang berasal dari lahan milik negara dengan pangan yang berasal dari individu-individu warga negara akan menyeimbangkan harga pangan, sehingga tidak perlu adanya harga patokan. Nabi SAW dengan tegas melarang adanya pematokan harga (tas’ir). Dengan perkataan lain, harga sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, dengan catatan negara harus memelihara keseimbangan pasokan pangan dari Sentra pangan milik negara dan dari individu-individu warga negara.

Dalam konteks kekinian, Sentra pangan milik negara itu merupakan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak boleh dialihfungsikan. Jadi, ketika Pemerintah hendak membentuk kawasan pertanian pangan berkelanjutan, maka lahan yang diperuntukkan baginya bukan lahan milik individu yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi pemilik lahan melainkan lahan milik negara.

Manajemen ini sebenarnya dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Para Pemda hendaknya mengalokasikan lahan milik negara untuk membentuk Sentra pangan milik negara. Jika tidak ada lahan milik negara di daerah itu, maka Pemda dapat membeli lahan milik petani dengan harga sesuai kesepakatan dengan berpatokan pada harga yang berlaku di tempat tersebut. Pemda kemudian dapat membentuk BUMN atau BUMD untuk mengelola sentra pangan tersebut secara modern dan integrated, yang meliputi Sentra pangan, pusat penelitian, daerah pariwisata budaya, daerah pariwisata alam, sentra kuliner, tempat outbond dan lain-lain. BUMD juga bertugas untuk mendistribusikan pasokan pangantersebut  kepada masyarakat yang mebutuhkan, sehingga akan menghilangkan atau memotong peluang terjadinya mafia pangan.

Dalam kondisi konversi lahan yang terus menerus, penurunan minat bertani yang sangat nampak, maka pengambilalihan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menjadi alternative yang sangat penting, karena Pemerintah memiliki otoritas untuk menyelesaikannya termasuk menyediakan sumber daya manusia yang diperlukan.

Dipublish oleh KAHMI (Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam).***

 

Recommended For You